Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengamat: Starlink Harusnya Jadi Penyedia Akses bagi Operator Telekomunikasi...

Hal tersebut disampaikan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2018–2021 ini menanggapi layanan internet satelit milik Elon Musk di Tanah Air.

Dengan demikian sebut dia, tidak ada friksi dan tumpang tindih penyediaan jaringan internet di Indonesia.

"Starlink diposisikan sebagai penyedia backbone yang nantinya akan dipakai pengusaha ISP yang belum memiliki fiber optik. Menurut saya ini solusi yang menguntungkan bagi masyarakat maupun industri telekomunikasi,” kata Agung dalam keterangannya Rabu (19/6/2024).

Dia juga menyoroti nilai investasi Starlink di Indonesia yang hanya Rp 30 miliar. Sementara perusahaan telekomunikasi eksisting di Indonesia sudah banyak menanamkan investasi mulai untuk jaringan fiber optik, membangun menara telekomunikasi hingga pabrik perangkat telekomunikasi.

“Jumlah investasi tersebut lebih besar dari yang ditanamkan Starlink di Indonesia. Apa iya, pemerintah ingin investasi ratusan triliun tersebut kabur ke negara lain karena berharap investasi Starlink yang hanya Rp 30 miliar," sebut dia.

"Nilai investasi Starlink tersebut tak sebanding, jika ada perusahaan telekomunikasi mati atau ada investor telekomunikasi kabur dari Indonesia. Menurut saya itu bukan prestasi yang patut dibanggakan,” ujar Dosen STEI ITB ini.

Evaluasi BHP ISR Starlink

Agung mengatakan, pemerintah seharusnya dapat melihat industri ini secara jernih dan bijak.

Saat ini lanjut dia, perusahaan telekomunikasi di Indonesia kondisinya tak sehat. Hal ini disebabkan mereka masih menanggung beban regulasi (regulatory charges) yang sangat tinggi. Saat ini regulatory charges di industri telekomunikasi lebih dari 15 persen. Padahal  menurut Agung, ambang batas sehatnya kurang dari 8 persen.

“Jika ingin operator telekomunikasi dapat berkompetisi, harusnya industrinya disehatkan terlebih dahulu. Asosiasi telekomunikasi sudah mengajukan skema dan program untuk menyehatkan industri. Namun hingga saat ini belum mendapatkan respons positif pemerintah. Pemerintah harusnya dapat membantu penyehatan industri dengan menurunkan beban regulatory charges yang besar,” sebutnya.

Adapun menurut Agung, saat ini Starlink dikenakan regulatory charges yang sangat rendah.

"Kominfo hanya mengenakan BHP (biaya hak penggunaan) Izin Stasiun Radio (ISR) satelit ke Starlink. Jumlah BHP ISR yang dikenakan Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung 1 unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun. Padahal satelit Starlink yang memancar di Indonesia lebih dari 200 unit. Sedangkan untuk BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang ditanggung operator selular dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun," paparnya.

Starlink kata dia, dapat dikenakan BHP berdasarkan jumlah satelit yang memancar di Indonesia.

Saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah kepemilikan satelitnya. Jika operator memiliki 2 satelit, mereka harus membayar BHP ISR sebanyak satelit yang dimiliki.  Perubahan perhitungan BHP ISR Starlink sebut Agung, dapat meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan menciptakan iklim persaingan usaha.

“Jika nantinya mereka menyelenggarakan direct to cell, harusnya pemerintah dapat mengenakan Starlink dengan BHP IPFR layaknya operator selular," ujarnya.

https://money.kompas.com/read/2024/06/19/213800726/pengamat-starlink-harusnya-jadi-penyedia-akses-bagi-operator-telekomunikasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke