Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hadapi Tren Pelemahan Rupiah dan IHSG, Ada Apa dengan Ekonomi Indonesia?

Di satu sisi, nilai tukar rupiah diproyeksi bisa makin jatuh ke level Rp 16.800 per dollar Amerika Serikat (AS). Bila tidak ada intervensi, bukan tidak mungkin rupiah bakal terjerembap lebih dalam.

Saat ini, nilai tukar rupiah telah berada di level psikologis Rp 16.400 per dollar AS.

Sementara itu, dalam sebulan terakhir IHSG telah mengalami pelemahan yang cukup dalam, atau sekitar 6,4 persen. IHSG yang semua berada di level 7.000-an, harus turun ke level 6.000-an.

Lantas, apakah dua hal tersebut saling terkait? Apa yang akan terjadi kalau kondisi ini terus terjadi?

Kepala Ekonom PT Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, dollar AS dalam sepekan memang tercatat kembali menguat terhadap mata uang global, baik mata uang negara maju maupun negera berkembang, termasuk rupiah.

"Penguatan dollar AS didorong oleh shifting ke aset safe-haven di tengah gejolak yang sedang berlangsung dalam aset-aset Eropa, menjelang pemilihan parlemen Perancis di akhir bulan," kata dia kepada Kompas.com, Rabu (19/6/2024).

Selain dari faktor global, pelemahan rupiah juga dipengaruhi kabar soal kenaikan rasio utang pemerintah berikutnya meskipun belum dapat bisa dikonfirmasi sumbernya.

Kebijakan belanja pemerintah ke depan dikhawatirkan cenderung lebih ekspansif sehingga defisit ekonomi cenderung dapat meningkat tajam.

Josua menekankan, pelemahan nilai tukar rupiah memang dapat memengaruhi pergerakan IHSG.

"Pelemahan nilai rupiah akan berpotensi memengaruhi emiten atau perusahaan yang mengimpor bahan baku dengan biaya yang lebih tinggi sehingga berpotensi menurunkan margin keuntungan dari perusahaan," kata dia.

Selain itu, pelemahan rupiah juga berpotensi mendorong keluarnya investor asing dari pasar saham domestik untuk menghindari risiko valuta asing, yang bisa mengakibatkan penurunan harga saham di IHSG.

Seiring dengan itu, pelemahan rupiah juga berpotensi mendorong imported inflation yang pada akhirnya memengaruhi tingkat inflasi nasional.

Dalam waktu bersamaan, hal ini juga akan memengaruhi daya beli konsumen dan kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa.

Josua menilai, perkembangan di pasar keuangan domestik saat ini dipengaruhi oleh sentimen dari pasar keuangan global.

"Oleh karena itu, tekanan pada nilai tukar rupiah dan pasar keuangan domestik diperkirakan akan cenderung sementara," terang dia.


Senada, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut, ekonomi domestik memang terpengaruh oleh pelemahan permintaan global. Namun demikian, pengaruh permintaan global tersebut disebut tidak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.

"Salah satu contohnya adalah pelemahan permintaan untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang menyebabkan kelesuan di industri TPT, bahkan sampai ada pemutusan hubungan kerja (PHK)," ucap dia.

Ia menegaskan, kondisi global tersebut memang berpengaruh, meskipun porsi ekspor-impor Indonesia tidak begitu tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Di sisi lain, Nailul menegaskan, fondasi ekonomi Indonesia juga tidak menunjukkan hasil yang baik. Hal itu dapat dilihat dari beberapa indikator seperti Incremental Capital Output Ratio (ICOR), maupun penyerapan tenaga kerja per pertumbuhan ekonomi.

"Industri yang terus turun porsinya juga mempengaruhi kondisi ekonomi kita," imbuh dia.

Hal itu berdampak pada ekonomi Indonesia yang hanya akan tumbuh dalam angka yang relatif sama saja jika tidak mengalami perubahan dalam berbagai indikator.

"Pertumbuhan ekonomi akan tertahan di 5 persen, tidak akan jadi negara maju ketika Indonesia emas 2045. Bahkan lebih jauh lagi, tenaga kerja tidak akan terserap oleh pasar," tutur dia.

Stagnasi ekonomi RI

Sedikit berbeda, Ekonom sekaligus Ahli Keuangan dan Pasar Modal Budi Frensidy justru berpendapat, keadaan ekonomi secara global sedang dalam kondisi yang sangat baik.

Bahkan, berdasarkan catatannya, beberapa indeks bursa global sedang menembus rekor tertinggi.

"Kita (Indonesia) berat di indikator makro, yaitu pelemahan rupiah, triple defisit, dan capital outflow yang sangat deras," ungkap dia.

Ia menjelaskan, kondisi tersebut masih ditambah dengan daya beli masyarakat yang semakin melemah dan pengangguran di sektor formal yang terus meningkat.

Seiring dengan itu, Budi juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan stagnan di level 5 persen.

"Bahkan lebih rendah," tegas dia.

https://money.kompas.com/read/2024/06/20/093000726/hadapi-tren-pelemahan-rupiah-dan-ihsg-ada-apa-dengan-ekonomi-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke