Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Terancam Krisis Protein

Kompas.com - 16/01/2008, 20:15 WIB

BANDUNG, RABU - Bangsa Indonesia terancam krisis protein nabati dan hewani karena harga kedelai dan jagung yang terus melambung dan berdampak pada kenaikkan harga pakan ternak. Ini kemudian berimbas pada kenaikan harga daging ayam yang ujungnya orang miskin semakin sulit mengonsumsinya.

Staf Ahli Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (DPP PPUI) Wario Sahru mengatakan hal itu di Bandung, Rabu (16/1).

Wario menjelaskan, sejak akhir tahun lalu harga jagung sudah tinggi, yakni 1.600 per kilogram (kg). Harga ini terus melonjak dan tembus angka 2.800 rupiah per kg pada awal 2008. Akibatnya, harga pakan ternak naik dari 3.000 rupiah per kg menjadi 4.300 rupiah per kg.

Dengan harga pakan ternak sebesar itu, lanjutnya, harga bibit ayam (day old chicken/DOC) mencapai 2.500 rupiah per ekor. “Ini mengakibatkan break even point (BEP) daging ayam naik menjadi 11.000 rupiah per kg. Berarti harga daging ayam di kandang sudah 12.000 rupiah per kg dan di pasar mencapai 20.000 rupiah per kg,” kata Wario.

Dengan harga setinggi itu, lanjut Wario, yang mampu membeli daging ayam hanya kalangan menengah ke atas. Adapun masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya mayoritas di negeri ini, semakin sulit membelinya. Yang terjadi kemudian adalah krisis protein hewani.
“Sekarang kedelai juga semakin sulit, sehingga krisis protein nabati juga mengancam,” ujarnya.

Mahalnya harga jagung, kata Sekretaris III DPP PPUI Ashwin Pulungan, karena pemerintah tidak membela petani dan peternak. Ketahanan pangan hanya diartikan pemerintah sebagai upaya pengadaan pangan dari manapun asalnya, meskipun harus impor.

Ashwin mengungkapkan, saat ini Indonesia mengimpor jagung sebanyak 1,7 juta ton per tahun dari seluruh kebutuhan 3,5 juta ton per tahun. Bea masuk hanya 5 persen, sementara para petani tidak diberdayakan menanam jagung. “Semestinya bea masuk dinaikkan hingga 10 persen dan petani diberdayakan. Dengan demikian, harga jagung bisa turun karena pasokan dari dalam negeri meningkat dan petani tetap sejahtera,” ujarnya.

Selain itu, Ashwin juga menyayangkan rencana pemerintah mengubah UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Awalnya, UU ini mewajibkan pemerintah memberdayakan peternakan dengan melibatkan rakyat. “Dalam revisi UU itu, usaha peternakan dengan melibatkan rakyat dihilangkan dan diambil penanam modal asing (PMA),” kata Ashwin.

Menurut Ashwin, Rancangan UU baru itu desain PMA yang terus berupaya menonopoli peternakan sekaligus mematikan peternakan rakyat. Saat ini saja, sedikitnya 50 persen usaha peternakan dikuasai PMA.

Pada saat yang sama, banyak peternakan rakyat yang mati. Anggota PPUI yang semula 80.000 tinggal 10 persennya. Sisanya gulung tikar karena tak mampu bersaing dan kekurangan modal.

Lantas, kata Ashwin, PMA seolah melibatkan rakyat dalam pola peternakan unggas kemitraan. Caranya, warga pribumi diberi modal untuk beternak, namun harus menjual hasilnya ke PMA. “Ini merupakan perpanjangan tangan dari usaha integral monopoli yang dilakukan perusahaan besar PMA,” papar Ashwin.

Indikasinya, Berbagai rapat yang digelar PMA memutuskan harga DOC naik maupun turun secara bersamaan di semua industri pembibitan ayam. Ini dibarengi dengan pengendalian penjualan induk ayam (parent stock) oleh PMA.

Indikasi lainnya, PMA bebas berbudidaya komersial peternakan ayam atas nama kemitraan. Harga daging ayam di pasar hancur saat ayam PMA masuk ke pasar tradisonal. (MHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com