Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

AirAsia dan Tari Pendet

Kompas.com - 27/08/2009, 07:55 WIB

Paling penting adalah citra dari iklan yang kemudian memantik publikasi serta kesan yang makin menguat bisa didapatkan. Dengan jargon Malaysia Asia sebenar-benarnya (Malaysia Truly Asia) maka siapa lagi yang merasa lebih Asia ketimbang mereka.

Apakah Malaysia tidak takut diserbu Indonesia yang warganya gondok luar biasa. Ya, seperti cerita tiket AirAsia, kekhawatiran itu tak pernah terbukti kan.

Lalu apa pelajaran yang bisa kita petik.

Barusan saya menonton siaran televisi. Dalam siaran itu Pemerintah Indonesia mengaku pernah protes keras sambil marah kepada Pemerintah Malaysia soal iklan-iklan pariwisata mereka yang provokatif.

Jawaban Pemerintah Malaysia lucu sekaligus jitu. Kata mereka, iklan-iklan itu dibuat rekanan swasta dan bukan oleh pemerintah.

Ini seperti taktik mengelak sekaligus menyindir birokrasi pemerintahan kita. Mereka seperti ingin berkata, berubahlah jadi efisien dan efektif atau serahkan pekerjaan itu pada profesional yang mampu.

Atau lebih jauh lagi, kira-kira ada tidak sih kaum profesional kita yang mampu membuat kemasan iklan pariwisata lebih dahsyat ketimbang yang mereka punya. Jika jawabnya ada, maka akan ada banyak sekali tantangan dan hambatan sekaligus peluang serta kesempatan menanti.

Nah, untuk ini memang perlu direspon dengan tanggung jawab kita semua.

Karena ini menyangkut pula kepedulian kita semua pada aset-aset budaya yang dipunya.  Jangan belum-belum sudah main rusak sana-sini aneka peninggalan sejarah yang bahkan membuat dunia terbelalak karenanya.

Perusakan peninggalan struktur bangunan zaman Majapahit pada proyek pembangunan Pusat Informasi Majapahit di kawasan Situs Trowulan adalah salah satu contoh yang tentu masih segar dalam ingatan.

Pada kasus iklan-iklan pariwisata Malaysia yang mirip kisah AirAsia, kita seperti ditantang buat membalas dengan cara yang dua atau tiga kali lebih kreatif. Seperti AirAsia, hasilnya mesti dahsyat dan cepat.

Jadi apakah kita butuh orang-orang seperti Tony Fernandes (belakangan ditambahi gelar Datuk di depan namanya). Belum tentu juga, karena yang kita butuhkan hanya satu kata. "Kegilaan."

Sumber: Kompasiana

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com