Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Dagang Batik

Kompas.com - 03/10/2009, 05:28 WIB

 

Andi Suruji

KOMPAS.com - Batik Indonesia akhirnya resmi dimasukkan dalam 76 warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Batik Indonesia dinilai sarat teknik, simbol, dan budaya, yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat sejak lahir hingga meninggal.

Batik Indonesia konon memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Keunikan itu terletak pada penggunaan malam atau campuran sarang lebah, lemak hewan, dan getah tanaman dalam pembuatannya. Hal ini berbeda dengan teknik pembuatan motif kain dari China ataupun Jepang yang menggunakan lilin (Kompas, 2/10).

Begitu besar perhatian masyarakat Indonesia soal batik ini. Kemarin, di mana-mana di seluruh Nusantara dengan mudah kita jumpai warga bangsa ini mengenakan batik. Tua muda mengekspresikan berbagai bentuk luapan kegembiraannya terkait dengan dinyatakannya batik sebagai warisan budaya manusia. Sebelumnya wayang dan keris juga mendapat pengakuan terhormat dari masyarakat internasional.

Pertanyaan kita adalah setelah itu lalu apa? Apakah ”perjuangan batik” cukup sampai sebatas pengakuan dan kehormatan itu? Apakah kita cukup berbangga saja? Seharusnya tidak.

Suatu kehormatan seharusnya dikawal bersama karena kehormatan tinggi dan luhur nilainya. Sebagai bangsa, kita semestinya lebih maju lagi dengan melakukan kapitalisasi atau moneterisasi potensi batik.

Batik bukanlah sebagai produk budaya semata dari perjalanan panjang peradaban manusia Indonesia. Di dalamnya ada proses kreatif yang melahirkan nilai ekonomis. Inilah yang seharusnya kita usahakan rebut sekuat tenaga.

Dari hasil pengumpulan data di lapangan oleh Yayasan Batik Indonesia bersama desainer batik Iwan Tirta di 19 provinsi di Indonesia terkumpul lebih dari 2.500 jenis batik dengan berbagai corak dan motif yang beragam.

Sekiranya potensi besar ini dapat dikapitalisasi, sudah pasti nilai ekonomis yang dapat diraih sungguh sangat besar. Kini, momentumnya sudah ada, jangan sampai berlalu begitu saja. Berhenti pada kebanggaan diakui dunia. Nah, bagaimana ”politik batik” itu akan dijalankan masyarakat Indonesia untuk meraih sebesar-besar manfaat finansial, tentu untuk kesejahteraan rakyat.

”Politik batik”, tentu saja dalam arti luas, menyangkut juga upaya-upaya yang seharusnya diambil segera untuk meraih manfaat ekonomis. Jangan sampai terjadi seperti ungkapan sapi punya susu, tetapi kambing punya nama. Jangan sampai kita berhenti sekadar pada rasa bangga memiliki sesuatu yang diakui dunia lalu benefit ekonomisnya ”dicuri” bangsa lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com