Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

18 Asosiasi Industri Tidak Siap Hadapi FTA

Kompas.com - 19/01/2010, 05:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 18 asosiasi industri tidak siap menghadapi serbuan produk China pascapenerapan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China. Perjanjian ditandatangani tanpa melibatkan industriwan. Bertahun-tahun infrastruktur pendukung tidak digarap serius.

Dari 18 asosiasi industri yang memaparkan permasalahan menghadapi FTA ASEAN-China dalam rapat dengar pendapat di depan Komisi VI DPR, Jakarta, Senin (18/1/2010), hanya industri makanan dan keramik berani bersaing di pasar global. Akan tetapi, kedua industri tersebut juga tetap meminta dukungan pemerintah dalam menjaga pasar domestik.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan, FTA semestinya dipahami sebagai peluang memperbesar pasar, bukan seperti sekarang dipandang ancaman mengerikan.

Kalangan asosiasi beranggapan untuk memperbesar pasar, perlu memiliki daya saing. Hal itu antara lain diperoleh dari faktor ketersediaan energi listrik dan gas, sumber daya manusia, serta dana sebagai modal investasi.

. Hanya perjanjian dengan Jepang, kami sebagai pelaku industri diajak merintis dari bawah hingga tercapai kesepakatan perjanjian,” ujar Benny Soetrisno.

Ketua Gabungan Elektronika Heru Santoso meminta agar proses notifikasi produk elektronika ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dipercepat karena Indonesia adalah pasar potensial yang diincar China.

Kekalahan Indonesia

Asosiasi Industri Baja dan Besi Indonesia (IISIA) Fazwar Bujang mengatakan, sejak FTA ditandatangani tahun 2004, China sudah mempersiapkan pembangunan industrinya.

”Indonesia tidak bisa disalahkan kalau kalah bersaing. Bunga kredit di China bisa 4 persen per tahun, China pun sengaja memperlemah kurs mata uangnya dan pemberian insentif pajak,” ungkap Fazwar.

KH Muhamad Unais Ali Hisyam dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa menuturkan, FTA bisa dipandang sebagai ancaman maupun peluang untuk kemandirian. Bukan hanya menjadi bayi manja yang terus minta proteksi pemerintah.

”Kalau FTA ini minta ditunda lima tahun, apakah kelak bunga kredit kita bisa mencapai 4 persen? Infrastruktur sudah memadai? Dan energi juga bisa mendukung aktivitas industri? Industri sebetulnya tidak siap menghadapi FTA? Ataukah industri tidak menangkap sinyal-sinyal globalisasi?” ujar Unais.

Enam bulan

Menteri Perindustrian MS Hidayat, Senin di Bandung, Jawa Barat, menegaskan, Kementerian Perindustrian menargetkan proses negosiasi ulang harmonisasi 228 pos tarif yang berpotensi melemahkan industri domestik dalam perjanjian perdagangan bebas atau FTA ASEAN-China selesai enam bulan ke depan. Sejumlah pos tarif yang akan dinegosiasi ulang di antaranya berasal dari sektor tekstil dan produk tekstil, baja, manufaktur, serta elektronik.

Negosiasi ulang harus dilakukan secepatnya. ”Meskipun koordinator proses negosiasi ulang adalah Menteri Perdagangan, kami dari Kementerian Perindustrian tetap akan mendampingi secara intensif. Saya optimistis, dengan berbagai pendekatan, negosiasi ulang pos tarif bisa tercapai,” jelas Hidayat.

Dia mengemukakan, negosiasi ulang pos tarif tercantum dalam klausul pemberlakuan FTA ASEAN-China. Upaya tersebut menjadi langkah antisipastif jangka pendek karena terdapat sejumlah sektor industri yang belum mampu bersaing dan dipastikan tersisih jika harmonisasi bea masuk nol persen diberlakukan.

Saat ini, tim negosiasi ulang pos tarif telah melakukan pendekatan dengan Pemerintah China. (OSA/GRE)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com