Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pola Baru Subsidi Pupuk

Kompas.com - 05/05/2010, 03:48 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana pemerintah mengubah kebijakan subsidi pupuk dari sistem tertutup menjadi subsidi uang langsung pada petani harus dikaji secara mendalam. Rendahnya sumber daya petani harus jadi pertimbangan utama daripada sekadar pragmatisme pelaksanaan kebijakan.

Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir saat dihubungi di Arab Saudi, tujuan subsidi langsung bagus. Namun, melihat sumber daya petani yang rendah, pelaksanaan subsidi akan menemui banyak kesulitan.

”Petani akan menempuh berbagai prosedur untuk mendapatkan pupuk bersubsidi,” kata Winarno, Selasa (4/5).

Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo menyatakan, pola subsidi langsung mengadopsi model Malaysia.

”Di sana setiap petani yang menanam komoditas pangan 1 hektar mendapat subsidi uang langsung 500 ringgit,” katanya.

Di Indonesia, sistem yang bagus belum tentu bisa dijalankan dengan baik karena budaya korupsi. Misalnya, kalau di Malaysia petani benar-benar menanam 1 hektar, di Indonesia bisa saja digelembungkan.

Mulai musim tanam rendeng Oktober 2010, pemerintah akan melakukan uji coba pelaksanaan subsidi pupuk melalui pemberian uang subsidi langsung kepada petani. Uji coba akan dilakukan di Karawang, Jawa Barat.

Sejak dua tahun ini subsidi pupuk menggunakan sistem tertutup berbasis rencana definitif kebutuhan kelompok tani (RDKK), dari yang semula sistem terbuka. Jika sukses dengan uji coba itu, pemerintah bakal menjalankannya secara nasional.

Tahun ini pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi pupuk dalam APBN 2010 sebesar Rp 15,7 triliun.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto menyatakan, mekanisme pemberian uang subsidi bisa menggunakan dua pola.

Pertama, petani membeli pupuk sesuai dengan harga pasar di kios-kios pengecer. Setelah itu, tanda terima pembelian yang sudah divalidasi oleh pengecer dibawa ke bank atau gabungan kelompok tani (gapoktan) untuk ditukarkan dengan uang subsidi dari pemerintah.

Saat ini Kementerian Pertanian melakukan validasi data petani dan skala usahanya. Kementerian Pertanian juga mengusulkan perlunya tambahan margin keuntungan bagi pengecer pupuk bersubsidi dari Rp 40.000 per ton menjadi Rp 60.000 agar harga pupuk tidak lebih mahal.

Berkaca dari BLT

Sekretaris Jenderal Kontak Tani Nelayan Andalan Hartono menyatakan, penyaluran uang ke gapoktan berpotensi menimbulkan kericuhan.

Pengalaman pembagian dana bantuan langsung tunai (BLT) dan raskin ternyata terus menimbulkan masalah. ”Pelaksanaan pemberian uang tunai akan memicu kericuhan,” katanya.

Dalam kasus BLT, dana bantuan justru tidak sampai sasaran. Ada yang dibagi antara penerima BLT dan aparat. Penyaluran raskin juga tidak jauh berbeda.

”Saat ini saja dalam pemberian subsidi pupuk sistem tertutup melalui RDKK petani juga harus mengeluarkan biaya administrasi,” katanya.

Menurut Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini, jika petani dibiarkan membeli pupuk di pasar, ada kemungkinan pupuk dikuasai spekulan.

Sekretaris Jenderal Dewan Tani Indonesia Anggawira menyatakan, banyak prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan subsidi langsung, seperti data jumlah petani dan lahan garapannya serta mekanisme pemberian uang.

Sementara Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia Agusdin Pulungan mengatakan, teknis pendataan dan proses pengajuan uang subsidi rawan penyimpangan. Nanti, bisa berkembang menjadi pungli dalam pencairan dana. (MAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com