Namun, sepeda tetap populer di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah hingga tahun 70-an. Pada tahun-tahun inilah, di beberapa kota, sepeda menjadi primadona transportasi, misalnya di Yogyakarta, Klaten, Solo, Pekalongan, dan beberapa kota lainnya.
Sedangkan sejak tahun 1980-an, seiring dengan semangat pembangunan gaya Orde Baru yang mengukur kemajuan dari motorisasi transportasi sepeda pun makin tergusur.
”Mimpi masyarakat bawah sekarang adalah memiliki kendaraan bermotor,” kata Adjie.
Pada periode ini, beberapa ruas jalan yang dikhususkan untuk mobil (baca: jalan tol) giat dibangun. Pengimpor otomotif (mobil dan sepeda motor) juga gila-gilaan menggelontorkan berbagai produk.
Infrastruktur sepeda disisihkan dan tak pernah menjadi bagian dari perencanaan transportasi di Indonesia. Akhirnya, terbentuk pencitraan bahwa sepeda identik dengan kalangan masyarakat miskin.
Namun, pada awal tahun 1990-an, pawai bersepeda, atau yang biasa dikenal sebagai sepeda gembira, mulai marak. Dalam konteks ini, sepeda tak lagi dilihat sebagai moda transportasi, tetapi lebih sebagai wahana berekreasi.
Munculnya kesadaran lingkungan global pada awal tahun 2000-an memicu kesadaran sebagian kelas menengah di Indonesia untuk menggunakan transportasi ramah lingkungan. Hal ini ditambah dengan kemacetan di jalan-jalan yang makin parah akibat membeludaknya pengguna mobil. Sepeda pun kembali dilirik sebagai moda transportasi alternatif. Gerakan bersepeda ke tempat kerja (bike to work) menemukan momentumnya.
Kini, tiap hari, ribuan pekerja kerah putih memilih bersepeda ke tempat kerja walaupun tanpa dukungan jalur sepeda ataupun infrastruktur lain yang memadai. Obahe sikil (baca: bicycle) sebagai pilihan cara ke tempat kerja pun semakin populer saja.... (Ahmad Arif/Amir Sodikin)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.