Beijing memiliki metro sejak tahun 1970 dan kini memiliki 15 jalur metro. Untuk jalur-jalur padat dan selama jam-jam sibuk, jumlah metro diperbanyak. Waktu tunggu penumpang di peron tidak sampai satu menit. Namun, walaupun banyak metro beroperasi, penumpang tetap padat di dalam metro. Hal itu terjadi karena jumlah penumpang yang naik kendaraan umum luar biasa banyak.
Setelah menerapkan berbagai kebijakan demikian, kondisi lalu lintas di Beijing kini menunjukkan perbaikan. Januari lalu, dengan memakai sistem penghitungan yang dibuat Pemerintah Kota Beijing, indeks kepadatan lalu lintas Beijing menunjukkan angka 6 hingga 6,62 pada jam-jam sibuk. Angka ini menunjukkan kepadatan lalu lintas di Beijing berada pada level moderat.
Tahun lalu, indeks kepadatan mencapai 8,32 dan puncaknya mencapai 9,68. Sistem itu membagi kepadatan di Beijing dalam tiga level, yakni parah (8-10), moderat (6-8), dan lancar (4-6). Jika indeks menunjukkan angka di bawah 4, berarti kendaraan bisa melaju dengan bebas.
Apa yang dikerjakan Beijing diikuti Guangzhou, kota nomor tiga terpadat di China, dengan populasi 14 juta jiwa. Namun, kondisi kota tidak tertata baik seperti Beijing. Guangzhou mempunyai masalah lalu lintas lebih parah. Apalagi luas kota Guangzhou tidak seluas kota Beijing sehingga untuk pengaturan lalu lintas tidak terlalu mudah.
Pemerintah Kota Guangzhou sejak tahun 2007 menghapus motor pribadi dalam ragam kendaraan yang ada di kota itu. Satu-satunya motor pribadi yang boleh beroperasi adalah motor beroda tiga yang dikendarai orang cacat. Motor roda tiga itu menjadi ojek untuk mata pencarian orang cacat tersebut.
Untuk mengatasi keterbatasan ruang, pemerintah pun membangun jalan susun hingga susun tiga. Jalan itu melintas di atas sungai dan meliuk di antara gedung-gedung tinggi apartemen warga.
Pemerintah Kota Guangzhou menyadari, pembangunan jalan seperti itu tidak memecahkan masalah kemacetan, tetapi malah menambah masalah polusi, baik udara maupun suara. Pembangunan jalan hanya membuat pertumbuhan kendaraan semakin tinggi.
Kini, Guangzhou memfokuskan penataan lalu lintas dengan membuat sistem kereta bawah tanah dan
Koridor BRT Guangzhou berbeda dengan koridor bus transjakarta. Koridor BRT Guangzhou berfungsi sebagai tempat transit bagi ke-31 rute yang ada. Rute-rute itu rata-rata menghubungkan tempat-tempat yang ada di sisi utara dan selatan koridor tersebut. Jadi, bus-bus BRT tidak hanya melintas di koridor yang bebas kendaraan umum, tetapi juga bercampur dengan kendaraan umum ketika dia keluar dari koridor untuk menuju rutenya.
”Biayanya sudah tercakup di BRT, yakni jauh dekat 2 yuan,” kata Karl Fjellstrom dari Institute for Transportation and Development Policy, lembaga yang membantu Pemerintah Kota Guangzhou memperbaiki sistem transportasinya.
Pemerintah pusat dan pemerintah kota di China memandang serius masalah transportasi. Mereka percaya, jika tidak mampu memecahkan masalah transportasi, potensi di bidang lain pun akan ikut melemah.