Mobil berpelat nomor akhir 1 dan 2 hanya boleh keluar pada Senin. Pelat bernomor akhir 3 dan 4 hanya boleh beredar pada Selasa. Nomor 5 dan 6 hari Rabu. Nomor 7 dan 8 pada Kamis. Nomor 9 dan 0 hanya boleh melintas pada Jumat. Untuk Sabtu dan Minggu, semua mobil pribadi diperbolehkan melintas di dalam kota. Jika ada pengendara mobil yang melanggar, dikenai denda 100 yuan atau sekitar Rp 130.000.
Peraturan ini pertama kali diterapkan pada Agustus 2008, saat pesta olimpiade berlangsung. Hingga kini peraturan tetap berlaku karena terbukti telah mengurangi kepadatan dan polusi kota yang sudah sangat tinggi.
Pemerintah juga memperpanjang dan memperlebar jalan-jalan yang ada di Beijing. Bahkan, kini Beijing memiliki enam jalan lingkar yang jaraknya 130 kilometer dari Tiananmen, pusat kota Beijing. Tidak cukup hanya itu, tarif parkir pun dinaikkan agar orang tidak lagi mau naik mobil pribadi. Kini, tarif parkir ditetapkan 20-50 yuan (Rp 26.000-Rp 65.000) per jam, tergantung dari lokasi.
Walaupun menerapkan banyak peraturan, kemacetan tetap terjadi. Hal itu terjadi karena banyak sekali orang yang mempunyai mobil pribadi. Seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi rakyat China, kebutuhan orang akan hidup mewah pun bertambah.
Kewalahan dengan jumlah mobil yang terus bertambah, mulai tahun 2011, Pemerintah Kota Beijing membatasi pembelian mobil baru. Sebelum bisa membeli mobil, seorang calon pembeli harus mengikuti undian untuk mendapat nomor mobil. Jadi, walaupun memiliki uang, ia belum tentu bisa membeli mobil jika namanya tidak keluar dalam undian tersebut. Melalui kebijakan undian, Pemerintah Kota hanya mengizinkan penjualan 400.000 mobil baru. Padahal, tahun lalu jumlah mobil yang terjual 850.000 unit.
Dari kuota 400.000 unit itu, sebanyak 240.000 unit dijual bagi pemilik baru, sedangkan 160.000 unit bagi pemilik mobil yang mobilnya rusak atau dijual. Mereka diperbolehkan tetap memegang nomor mobil mereka dan membeli mobil baru.
Sebelum membatasi jumlah mobil, Pemerintah Kota Beijing juga melarang penggunaan motor di dalam kota. Pemerintah tetap memperbolehkan sepeda berlalu-lalang, termasuk sepeda listrik. Namun, kini jumlah sepeda juga makin lama makin berkurang karena mereka beralih naik mobil.
”Dulu di sini banyak sekali sepeda. Pemandangannya seperti motor-motor di Jakarta saat ini, yang jumlahnya makin lama makin banyak,” kata Riyono, warga Indonesia yang bekerja di Beijing selama 15 tahun.
Adanya kebijakan-kebijakan yang membatasi kepemilikan kendaraan bermotor, Pemerintah Kota Beijing menyadari, warganya harus memiliki angkutan umum yang layak, cepat, murah, dan mencapai seluruh sudut kota. Jika ada angkutan umum yang nyaman, orang bersedia pindah dari angkutan pribadi ke angkutan umum.
Pilihan pun jatuh dengan memperbanyak jumlah bus dan memperpanjang jalur kereta bawah tanah (metro). Selain itu, ongkos angkutan umum juga dibuat sangat murah, hanya 1 yuan atau sekitar Rp 1.360 per trayek. Namun, jika penumpang memakai kartu langganan, ongkosnya hanya 0,4 yuan atau sekitar Rp 500. Untuk metro, ongkosnya hanya 2 yuan untuk semua trayek. Jadi, ke mana pun tujuannya, selama masih di dalam area metro, tidak perlu membayar lagi jika berganti jalur metro.