Jakarta, Kompas
Hal itu diungkapkan Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Timur Pradopo setelah menghadiri acara serah terima jabatan Wakil Kepala Polri yang baru, yaitu Komisaris Jenderal Nanan Soekarna yang menggantikan Komisaris Jenderal Jusuf Manggabarani, di Markas Besar Polri, di Jakarta, Selasa (1/3).
Menurut Timur, dalam menangani berbagai persoalan keamanan dan ketertiban di masyarakat, Polri perlu melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif setelah belajar dari kasus kekerasan di Cikeusik dan Temanggung.
”Kita akan bentuk detasemen antianarki. Saya kira itu jawaban untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan Cikeusik dan Temanggung (kasus-kasus kekerasan),” kata Timur. Pihak Polri juga merencanakan melakukan simulasi detasemen tersebut.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengatakan, detasemen penanggulangan anarki yang akan dibentuk berada di tingkat Mabes Polri.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan, secara prinsip, pembentukan detasemen penanggulangan anarki perlu diapresiasi karena hal itu menunjukkan, polisi sadar bahwa kekerasan bernuansa agama merupakan persoalan besar dan harus ditindak.
Akan tetapi, lanjut Hendardi, di tingkat praksis, kinerja detasemen masih perlu dilihat, apakah efektif menanggulangi kekerasan di daerah dan terintegrasi ke satuan wilayah seperti kepolisian daerah dan kepolisian resor. ”Kalau tidak efektif, tentu pembentukan detasemen itu akan menghabiskan anggaran,” katanya.
Menurut Hendardi, polisi sebenarnya perlu meningkatkan kinerja intelijen. ”Intelijen harus memiliki peta konflik, termasuk peta konflik bernuansa SARA. Dengan demikian, polisi dapat menerapkan pencegahan dini konflik sosial,” katanya.