”Kebijakan investasi pada investasi strategis; keuangan, pangan, dan energi, memang harus ditinjau lagi karena menyangkut hal mendasar dalam ekonomi bangsa. Namun, untuk industri lainnya, sebaliknya harus ikut praktik terbaik yang sudah lumrah di negara-negara lain sehingga Indonesia bisa lebih berdaya saing,” kata Ekonom Fadhil Hasan di Jakarta, Sabtu (22/5).
Menurut Fadhil, rezim perekonomian Indonesia tergolong lebih liberal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara dan Asia Timur, baik dalam kebijakan perdagangan maupun investasi. Namun, dengan rezim investasi dan perdagangan yang liberal pun, porsi asing (secara keseluruhan) dalam ekonomi Indonesia masih rendah dibandingkan negara lain, seperti Malaysia, Thailand, atau Singapura.
”Jadi, harus ada kesepakatan dalam menentukan mana industri yang vital dan strategis. Ini kemudian harus tecermin dalam kebijakan investasinya. Namun, kalau ketiga bidang tersebut (keuangan, pangan, dan energi) tergantung pada asing, memang sangat berbahaya,” ujarnya.
Perlu diingat pengalaman Uni Soviet yang runtuh karena masalah pangan, yakni memiliki ketergantungan pada impor gandum dari Amerika Serikat. Demikian pula dalam bidang energi, Indonesia tidak bisa mengandalkan negara lain.
”Ingat ketika Amerika Serikat dan negara Barat lain terkena masalah serius akibat embargo negara-negara Arab tahun 1976. Ini mendorong kebijakan cadangan energi dan pembentukan departemen energi di Amerika Serikat dan yang membuat resesi ekonomi dunia,” katanya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Darmawan Wintarto Martowardojo mengatakan, pengawasan terhadap lembaga keuangan dan sektor-sektor lain yang dimiliki asing harus diperkuat dengan mendorongnya menjadi perusahaan terbuka dan terdaftar di bursa efek.
Agus mengakui, aturan kepemilikan saham asing pada lembaga keuangan sudah sangat liberal di Indonesia. Untuk perbankan, kepemilikan asing bisa mencapai 99 persen dan dapat membuka cabang hingga di daerah. Sementara kepemilikan asing pada perusahaan asuransi dapat mencapai 80 persen.
Sementara ketika bankir dan pengusaha asuransi asal Indonesia ingin masuk ke negara lain, banyak sekali batasan yang dihadapi. Negara lain menerapkan sistem perizinan berlapis, tetapi itu pun masih terbatas hanya boleh membuka kantor cabang di ibu kota negara, tidak boleh ekspansi hingga ke daerah.
”Indonesia sudah sangat baik komitmennya untuk membuka industri keuangannya. Namun, tidak boleh asal buka. Pelaku pasar yang kuat itu, kalau sistemnya dan kapasitasnya sudah kuat. Itu bisa dicapai jika sumber daya manusianya kuat,” ujarnya.
Pengawasan ekstra ketat patut diberlakukan pada lembaga keuangan karena mereka diberi wewenang untuk menghimpun dana masyarakat. Hal itu berarti, lembaga tersebut diberi kewenangan untuk berutang ke masyarakat. Pengawasan harus diperkuat pada bank atau asuransi asing yang bermodal kecil, tetapi menarik dana dalam jumlah besar dari masyarakat.