Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelopor Usaha Kakao Swasta di NTT

Kompas.com - 25/05/2011, 02:50 WIB

Dia pun semakin paham NTT berpotensi untuk pengembangan tanaman kakao, apalagi usaha tanaman kakao itu berorientasi ekspor dengan pasar yang jelas. Hal itu membuat Hengky berani mengajukan permohonan izin usaha perkebunan kakao seluas 1.000 hektar di Wederok, Kabupaten Belu, berbatasan dengan Timor Leste.

Namun, saat mengimplementasikannya di lapangan, kendala langsung menghadang, terutama dalam pengurusan pembebasan lahan. ”Tiba-tiba muncul beberapa kelompok masyarakat yang mengklaim sebagai tuan tanah dan menghalangi pembebasan lahan, padahal kawasan itu lahan kritis dan sejak lama ditelantarkan,” katanya.

Tak mencapai titik temu, sebagian lokasi usahanya terpaksa dipindahkan ke Gaura, Kabupaten Sumba Barat Daya. Jadilah usaha perkebunan kakaonya di bawah bendera PT Timor Mitra Niaga, meliputi dua lokasi, yakni di Wederok seluas 185 hektar dan di Gaura seluas 815 hektar.

Hengky menambahkan, pada masa awal perkebunan kakaonya, separuh anakan yang ditanam mati. Penyebabnya, pohon pelindung dari jenis lamtoro belum tumbuh maksimal. Kendala lain adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM).

”Ada banyak sarjana atau tenaga teknis pertanian yang punya pemahaman luas dan mendalam tentang tanaman kakao, tetapi hanya sedikit di antaranya yang betah tinggal di pedesaan mengurusi tanaman,” katanya.

Ujian lain yang dirasakan Hengky adalah saat seorang ahli kakao dari Jakarta berkunjung ke kebun usahanya di Gaura. Ketika itu sang ahli mengatakan, dia terlalu berani menggeluti usaha perkebunan kakao dengan keterbatasan SDM, transportasi tak memadai, dan dukungan perbankan yang minim.

Namun, dia tetap teguh dengan usaha kakaonya. ”Kuncinya, kemauan, kerja keras, dan mengupayakan kehadiran pendamping pilihan. Pendamping itu harus punya pemahaman tentang budidaya kakao, juga betah tinggal bersama petani di desa,” ungkapnya.

Standar honor

Didukung 645 tenaga kerja, sebagian sarjana dan diploma pertanian, perkebunannya menghasilkan sekitar 350 ton biji kakao per tahun. Karena berstandar fermentasi atau ekspor, kakaonya bisa dijual Rp 29.000 per kilogram di Surabaya, Jawa Timur. Harga itu jauh lebih tinggi dari pasaran kakao petani yang hanya dihargai Rp 8.000-Rp 12.000 per kilogram berupa biji kering.

Selain itu, sekitar 120.000 pohon kakaonya telah berlabel pohon induk atau sumber entris untuk budidaya sambung samping. Dengan teknologi itu, kakao berbuah setelah sembilan bulan, jauh lebih cepat dibanding penanaman secara tradisional yang harus menunggu usia produksi sekitar 4-5 tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com