Makassar, Kompas
Wakil Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah, dalam acara lokakarya pengembangan kakao berkelanjutan di Indonesia, yang diselenggarakan Nestle, di Makassar, Rabu (27/7), mengatakan, selisih harga antara yang bagus dan jelek hanya Rp 1.000 per kilogram. Seharusnya selisihnya bisa mencapai Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram.
Dia mengatakan, ketidaklayakan biji kakao tersebut terutama karena petani tidak melakukan fermentansi terlebih dahulu. Akibatnya, rasa serbuk kakao yang dihasilkan kurang enak. Selain itu, biji kakao masih banyak tercampur kotoran, seperti sisa kulit, sampah, dan kerikil.
Selain tuntutan SNI, para petani juga dihadapkan pada tuntutan perkebunan yang berkelanjutan.
”Pasar internasional sudah mulai meminta sertifikasi untuk kakao. Dengan adanya sertifikat, maka produksi kakao Indonesia dipastikan aman secara lingkungan,” kata Mukti Sardjono, Sekretaris Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, yang juga hadir dalam acara tersebut.
Menurut dia, salah satu item sertifikasi yang perlu diperhatikan adalah soal penggunaan lahan.
Pengembangan kakao tidak memanfaatkan areal hutan sehingga tidak berkontribusi pada pembukaan areal hutan. Item lainnya adalah penggunaan pestisida yang dosisnya tidak boleh berlebihan sehingga mengganggu keseimbangan alam.
Untuk membantu petani meningkatkan kualitas biji kakao, Nestle Indonesia meluncurkan The Cocoa Plan. Program tersebut dirancang selama lima tahun ke depan dengan investasi sekitar Rp 34 miliar.
”Lewat program tersebut diharapkan kualitas kakao membaik dan produktivitasnya bisa naik hingga 30 persen,” kata Presiden Direktur Nestle Indonesia Arshad Chaudhry.
The Cocoa Plan fokus pada kegiatan bantuan teknis praktik pertanian, bantuan keilmuan, pembelian kakao secara transparan, serta bantuan pengembangan gizi dan pembangunan pedesaan.