Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapa yang Memenangi Transisi?

Kompas.com - 09/08/2011, 02:06 WIB

Wahyu Susilo

Tentu bukan ketidaksengajaan ketika Kompas menurunkan artikel Sri Mulyani, ”Memenangkan Transisi” (5 Agustus 2011), sehari setelah pendaftaran keikutsertaan Partai Serikat Rakyat Independen dalam Pemilu 2014 di Kementerian Hukum dan HAM.

Dalam kesempatan itu pula Partai SRI mendeklarasikan Sri Mulyani sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden RI 2014.

Tulisan ini tak hendak membahas soal pencalonan Sri Mulyani oleh Partai SRI, tetapi untuk menambahkan hal-hal yang terlupakan (atau dilupakan) oleh Sri Mulyani tatkala membahas dan membandingkan dinamika politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah dengan proses transisi politik yang terjadi di Indonesia.

Terasa sangat linier Sri Mulyani menjelaskan proses transisi politik di Indonesia. Proses perubahan diasumsikan berlangsung lancar tatkala ada pembaruan regulasi tata kelola pemerintahan, liberalisasi kehidupan politik, penjaminan berlangsungnya demokrasi prosedural, dan pembaruan kebijakan ekonomi. Identifikasi tantangan proses transisi pun mudah ditebak: korupsi, budaya birokrasi, dan lemahnya penegakan hukum.

Penjelasan yang linier hanya mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang kelihatan di permukaan. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang lebih historis untuk bisa mendalami dan menemukan akar masalah yang masih berpotensi menjegal dan menghalangi penuntasan proses transisi politik di Indonesia.

Dalam artikelnya, Sri Mulyani sama sekali tak mengurai pandangannya soal karut-marut pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang merupakan modal utama pembangunan ekonomi Indonesia serta jadi daya tarik utama investasi asing ke Indonesia. Harus diingat, salah satu pemicu kejatuhan Soeharto adalah ketidakadilan dalam pengambilan keuntungan pengelolaan sumber daya alam antara Jakarta dan daerah. Hingga sekarang masalah ini kerap jadi sumber kesenjangan ekonomi, konflik kekerasan antara korporasi dan masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Masalah lain yang luput dari uraian Sri Mulyani adalah soal kedaulatan ekonomi dan tanggung jawab lembaga-lembaga keuangan internasional. Pada akhir artikelnya, Sri Mulyani menegaskan, ”Kita memang membutuhkan bantuan luar, tetapi kita tak pernah melepaskan kepemilikan proses reformasi.” Pernyataan ini jelas menyejukkan, tetapi harus diuji kebenarannya. Benarkah rakyat Indonesia telah memenangi transisi ini?

Politik pujian Bank Dunia

Reformasi yang dicirikan Sri Mulyani sebagai produksi berbagai undang-undang baru, ratifikasi legislasi keuangan publik, dan pengukuhan kedaulatan bank sentral sejatinya tak lepas dari kondisionalitas politik utang yang harus dijalankan Indonesia ketika jadi pasien IMF sejak 1998 hingga implementasi pasca-Program Monitoring IMF yang berakhir pada 2006. Hingga kini juga masih berlangsung produksi legislasi dari kondisionalitas politik utang melalui skema Development Policy Loan yang dikucurkan oleh Bank Dunia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com