Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beragam Sisi, Beragam Kesan

Kompas.com - 01/10/2011, 02:46 WIB

Insiden kecil dalam pesawat Jet Airways yang membawa kami dari Singapura menuju New Delhi, India, mengawali perjalanan sepekan ke India. Menjelang berangkat, seorang penumpang pria bersitegang dengan pramugara hanya karena sekotak pizza. Penumpang itu repot mencoba memasukkan kardus pizza di bagasi atas, sementara pramugara rupanya tak memberi solusi memuaskan karena malah menyuruh dia menaruh di bawah kursi.

Alhasil pesawat terlambat terbang lebih dari setengah jam. Bukan karena insiden itu saja, melainkan pengaturan dalam pesawat terasa begitu repot. Kami yang mendapat tempat duduk di barisan paling belakang berbatasan dengan toilet, sudah mulai terganggu dengan lalu lalang penumpang yang ingin membuang hajat. Padahal, pesawat belum bergerak. ”Kenapa ya bukannya tadi menggunakan toilet di bandara,” celetuk salah seorang dari rombongan kami sambil menutup hidung dengan selendangnya.

Perjalanan ke India merupakan yang pertama bagi sebagian besar kami, rombongan yang beranggotakan lima orang. Hanya seorang pemilik travel asal Bali, satu-satunya yang pernah berkunjung ke negeri yang berpenduduk 1,2 miliar jiwa ini. Maka, rasa penasaran sudah kami rasakan sejak diterimanya undangan dari Kementerian Pariwisata India.

New Delhi, Agra, Jaipur. Inilah kota segitiga emas yang kami sambangi, pekan lalu, lewat perjalanan darat yang cukup melelahkan. ”Waktu yang paling tepat buat turis untuk datang adalah bulan November karena cuaca belum terlalu dingin, tetapi sejuk,” kata Rajesh Bhardwaj, pemandu kami di Jaipur.

Menurut Rajesh, Jaipur yang terletak sekitar 250 kilometer dari New Delhi adalah kota pertama di India yang dibangun dengan sebuah perencanaan. Penjelasannya selalu disertai dengan sejarah waktu dan nama-nama yang bagi kami tentu saja terasa asing.

Yang jelas, Jaipur yang mulai kami kelilingi sejak sekitar pukul sembilan pagi memberi berbagai impresi dari yang namanya sebuah kota. Kalau saja bersih, kota ini sungguh sangat menarik karena memiliki kekhasan tersendiri. Bangunan warna kemerahan di sepanjang pusat kota, menurut penjelasan, dimaksudkan untuk menyambut kedatangan raja Inggris, Edward. Maka sejak itu, Jaipur dijuluki ”pink city”.

Obyek pertama kami adalah Hawa Mahal atau Istana Angin yang dibangun pada 1799. Bangunan berwarna kemerahan ini mempunyai 61 balkon, bisa digunakan oleh para perempuan untuk melongok keramaian atau pertunjukan yang dulu sering diadakan di sepanjang jalan depan istana. Dengan posisi balkon yang sedemikian, pemandangan di sepanjang jalan bisa terlihat dengan jelas.

Untuk mereka yang menyukai suasana kuno, Jaipur bisa menjadi pilihan karena di sini banyak sekali tempat yang bisa dikunjungi. Tur yang hanya sehari tak memungkinkan kami melihat banyak hal, apalagi berlama-lama di suatu tempat. Waktu seperti mengejar.

Ketika kami tiba di Fort Amber yang berjarak 8 kilometer dari Jaipur, matahari terasa sangat menyengat. Dari kejauhan istana bergaya Mogul itu sudah membuat hati penasaran. Pemandu kami menawarkan alternatif naik jip atau gajah, jika kami tak mau berlelah-lelah berjalan kaki. Tentu ada harga yang harus dibayar, 800 rupe (sekitar Rp 160.000) per orang untuk ongkos naik gajah. Jika naik jip cukup 300 rupe (sekitar Rp 60.000).

Bukan soal harga kalau pada akhirnya kami memutuskan berjalan kaki. Sambil menaiki tangga demi tangga, kami bisa lebih mengamati setiap tempat yang kami lalui. Juga kami bisa leluasa mengambil gambar, entah untuk keperluan tugas atau kenangan-kenangan pribadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com