Jakarta, Kompas
”Hampir di semua negara di dunia, perusahaan nasional yang 100 persen milik pemerintah memiliki first right of refusal untuk pengelolaan lahan-lahan yang terminate dan penjualan aset di negara itu,” kata Direktur Umum PT Pertamina Waluyo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, yang membahas tentang perubahan UU Migas, Rabu (5/10), di Jakarta.
Selain itu, kontrak pengelolaan migas agar dibagi jadi dua tahap, yaitu kontrak eksplorasi serta kontrak pengembangan dan produksi. Jadi, masalah terminasi pada periode eksplorasi dapat ditetapkan secara tegas dan agar kasus PSC West Natuna tidak terulang.
Pihaknya juga mengusulkan perusahaan negara diikutsertakan dalam tahap pengembangan dan produksi dengan tingkat partisipasi minimal 50 persen. Perusahaan nasional juga diusulkan agar memiliki hak untuk membeli dalam penjualan hak partisipasi suatu blok migas seperti negara-negara di Afrika dan Amerika Latin.
Selain itu, penanggung jawab pelaksanaan subsidi semestinya pemerintah dan pelaksananya adalah perusahaan nasional milik negara dengan imbalan kompetitif. Alasannya, kebijakan subsidi BBM saat ini tidak mendorong investasi bidang infrastruktur.
”Untuk mendorong investasi pembangunan kilang di dalam negeri, perusahaan yang diizinkan memasok BBM untuk kebutuhan dalam negeri adalah perusahaan yang memiliki kilang dalam negeri,” kata dia.
Pada kesempatan sama, Presiden Direktur PT Medco E & P Indonesia Frila Berlini Yaman menyatakan, perpanjangan kontrak kerja sama agar jelas dan transparan. Hal ini untuk menghindari penurunan investasi di tahun-tahun terakhir kontraktor migas, yang akan berdampak pada penurunan produksi.