Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Tebu Terancam

Kompas.com - 14/12/2011, 03:23 WIB

Madiun, Kompas - Petani tebu di sejumlah wilayah di Jawa Timur meminta pemerintah menghentikan impor dan mengatur peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi. Jika tidak, petani tebu akan tamat riwayatnya karena produk lokal tersingkir di pasar domestik.

Saat ini sebagian petani tebu mulai beralih ke tanaman pangan karena industri gula nasional dinilai tidak lagi prospektif.

Faktor itu salah satu yang mendorong sedikitnya 75 petani tebu dari Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Magetan, bersama serikat pekerja Pabrik Gula Rejoagung, Kota Madiun, berangkat ke Jakarta, Selasa (13/12).

Mereka berencana menggelar unjuk rasa di Istana Negara, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, menolak masuknya gula impor sebanyak 500.000 ton. Mereka juga menuntut agar pemerintah mempertahankan gula sebagai barang dalam pengawasan sesuai Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004.

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyin di Kudus, Jawa Tengah, unjuk rasa yang rencananya digelar pada Rabu (14/12) diikuti sekitar 5.000 petani tebu dari Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Petani melakukan demonstrasi di Jakarta juga karena menolak konsep undang-undang perdagangan yang membebaskan peredaran gula rafinasi. Kebijakan itu akan mematikan pasar gula lokal milik petani.

Ketua APTRI PG Rejoagung Suwandi mengatakan, impor gula oleh pemerintah justru membunuh petani tebu. Alasannya, kondisi petani tebu saat ini sangat terpuruk akibat penurunan produksi tebu pada musim panen 2011, diperparah dengan jatuhnya harga gula di pasar lelang.

Produksi merosot

Hasil panen sebelumnya mencapai 1.000 ton per hektar, turun menjadi 700 ton tebu. Penurunan hasil panen tebu tidak diikuti penurunan biaya produksi. Ongkos tebang tebu justru naik karena upah pekerja mengikuti kenaikan inflasi tahunan.

Kondisi petani semakin terpuruk ketika harga gula di pasar lelang rendah. Rata-rata harga lelang di kisaran Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kilogram, padahal idealnya Rp 9.000 per kilogram.

Rendahnya harga lelang gula petani, menurut Ketua APTRI PTPN X Kadar Oesman, disebabkan membanjirnya gula rafinasi di pasar konsumsi. ”Jika impor gula dibiarkan, tidak hanya petani yang mati, industri gula nasional juga kolaps karena pabrik gula tutup akibat ketiadaan tebu untuk digiling,” katanya.

Ketua APTRI PG Pagotan Mujiono mengatakan, kerugian petani tebu di Kabupaten Madiun pada musim giling 2011 rata-rata Rp 10 juta per hektar. Jika satu pabrik memiliki lahan tebu seluas 5.000 hektar, maka total kerugian petani satu pabrik gula mencapai Rp 50 miliar.

Padahal, animo petani tebu pada musim tanam 2011-2012 turun sekitar 30 persen. Akibatnya, sebagian petani beralih ke tanaman padi, jagung, dan kedelai. Apalagi harga beras saat ini mendekati harga gula.

Idealnya, harga gula 2,5 kali lebih tinggi daripada harga beras sehingga petani untung. Apalagi, masa panen tebu cuma 14 bulan, sedangkan padi empat bulan.

(NIK/ETA/HEN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com