Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bunga Kredit Tak Kompetitif

Kompas.com - 29/12/2011, 04:08 WIB

Jakarta, Kompas - Tingginya suku bunga kredit bank di Indonesia membuat iklim bisnis dan investasi kurang kondusif. Akibatnya, daya saing nasional pun merosot. Industri lokal sulit bangkit untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik karena kalah bersaing dengan produk impor yang harganya lebih kompetitif. Bunga kredit seharusnya 8 persen.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto dalam paparan Economy Outlook (Prospek Ekonomi) di Jakarta, Rabu (28/12), mengatakan, dibandingkan dengan negara lain, bunga kredit di Indonesia jauh lebih tinggi. Di antara negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), bunga kredit Indonesia termasuk tertinggi. Ia mencontohkan Malaysia yang mematok bunga kredit sekitar 6 persen dan Thailand 4-8 persen. Bunga kredit di Indonesia 10-15 persen.

”Sebenarnya suku bunga acuan (BI Rate) sudah rendah dan kondusif, yakni 6 persen, tetapi itu tidak diikuti dengan bunga kredit. Dengan BI Rate 6 persen, bunga kredit perbankan seharusnya 8 persen. Tingginya bunga kredit, salah satunya, karena inefisiensi perbankan,” ujarnya.

Suryo mengatakan, kontribusi bank-bank komersial pada investasi perusahaan dan kapital juga masih rendah, yakni sekitar 25 persen dan 21 persen. Akibatnya, kontribusi bank bagi perkembangan sektor riil pun sangat minim. ”Jika tidak ada pembenahan daya saing nasional, kita akan terus melemah,” katanya.

Selain persoalan bunga kredit, Kadin juga menyoroti pasokan energi. Kadin menilai kebijakan energi yang diterapkan saat ini tidak pro-industri. Pemerintah lebih banyak memasok kebutuhan gas negara tetangga daripada kebutuhan industri lokal.

”Saat ini ada 53 industri di Sumatera Utara yang terancam tutup karena tidak mendapat pasokan gas. Jika itu terjadi, pengangguran akan membengkak karena banyak tenaga kerja yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja),” kata Ketua Kadin Sumatera Utara Irfan Mutyara yang juga hadir dalam acara tersebut.

Infrastruktur buruk

Kadin menilai, selain persoalan energi dan bunga bank, iklim usaha juga belum membaik. Perizinan masih membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan. Tidak hanya itu, mutu hasil proyek pun rendah akibat maraknya korupsi mutu fisik. ”Iklim usaha juga berkaitan dengan buruknya infrastruktur,” kata Zulkarnain Arief, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Infrastruktur.

Dia mengatakan, dengan pantai sepanjang 95.181 kilometer, jumlah pelabuhan hanya 100 buah, sementara di Thailand tiap 50 kilometer ada satu pelabuhan. Panjang jalan tol juga masih minim, yakni 700 kilometer, sementara di China mencapai 10.000 kilometer dan Malaysia 4.000 kilometer. Pertambahan jalan tol tiap tahun hanya 5-10 kilometer.

”Di sektor pertanian, infrastruktur tak kalah buruk. Tahun 1997, jaringan irigasi kita masih mampu mengairi 7,2 juta hektar lahan, saat ini hanya mampu 4,9 juta hektar lahan. Padahal, idealnya kita butuh kapasitas untuk 9,2 juta hektar lahan,” papar Zulkarnain.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Telekomunikasi dan Teknologi Informasi Didie W Soewondho mengatakan, pembangunan infrastruktur jangan hanya berfokus pada fisik. ”Harus dilihat juga aspek teknologi informasi. Jaringan informasi memudahkan konektivitas antardaerah,” paparnya.

Mampu dua digit

Secara terpisah, kolumnis dan pendiri Global Nexus, Christianto Wibisono, menyebutkan, tidak mustahil Indonesia mampu meraih pertumbuhan ekonomi dua digit. Sekarang saja, dengan kondisi dalam negeri yang centang-perenang, korupsi merajalela, dan izin tidak mudah, Indonesia mampu meraih pertumbuhan mendekati 7 persen. Bisa dibayangkan betapa hebatnya pertumbuhan ekonomi negeri ini kalau semua kriteria bagi sehatnya ekonomi dipenuhi.

Menurut Christianto, kalau ingin ekonomi tumbuh lebih cepat, jangan ragu perbaiki infrastruktur. Infrastruktur di sini tidak hanya dalam wujud pembangunan fisik, tetapi juga menyangkut perbaikan birokrasi, perolehan izin yang lebih cepat, keamanan yang sangat kondusif, dan pemerintah yang bersikap jauh lebih ramah kepada investor. ”Aspek lain, situasi sosial politik pun harus rapi,” ujarnya.

Dia memuji adanya sejumlah pabrik berskala besar di Indonesia, seperti Nestle, Unilever, dan Cargill. Perusahaan-perusahaan kelas dunia berkapasitas besar ini menjadi cermin bahwa Indonesia bisa menjadi hunian industri besar. (ENY/AS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com