Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Emas, Satu-satunya Aset yang Riil?

Kompas.com - 09/01/2012, 15:36 WIB
Ester Meryana

Penulis

KOMPAS.com - Sekalipun sempat berfluktuasi pada tahun lalu, harga emas ternyata berhasil mencatatkan pencapaian positif selama 11 tahun berturut-turut. Untuk seminggu pertama tahun 2012, misalnya saja, emas berjangka telah melaju 3,2 persen. Kontrak emas berjangka untuk pengiriman Februari ada di harga 1.616,80 dollar AS per troy ounce (setara dengan 31,1 gram) per Sabtu (7/1/2012), di Comex, New York.

Naik turunnya harga emas kadang dipengaruhi masalah ekonomi, misalnya menguat-melemahnya dollar AS ataupun euro. Atau, belakangan ini, harga emas juga didorong oleh kondisi geopolitik seperti masalah nuklir Iran.

Dari hal itu, seperti apa sebenarnya investasi si kuning ini? Tim investor Forbes mengupas sedikit mengenai sejarah dan masa depan emas. Menurut mereka, langkah awal yang harus dipahami bahwa emas itu adalah investasi jangka panjang. Mengenai kecenderungan harga, ada pernyataan yang menyebutkan setiap ada koreksi harga emas itu biasanya merupakan tanda awal dari kondisi memburuknya pasar emas. Forbes justru menilai, hal tersebut kurang tepat, setidaknya dalam sepuluh tahun belakangan. Indikator teknis Forbes justru memperlihatkan adanya sinyal positif untuk melakukan aksi beli.

Usut punya usut, harga emas berkaitan dengan kondisi utang baik itu pemerintah maupun swasta. Mengutip studi Stephen Cecchetti dan timnya di Bank for International Settlements (BIS) yang sering disebut bank sentralnya bank sentral, Forbes pun mengungkapkan, masalah utang yang dihadapi negara-negara maju ternyata lebih sulit dari yang diperkirakan. Faktanya, utang negara-negara kaya telah melonjak drastis dari 165 persen dari PDB pada 30 tahun lalu menjadi 310 persen sekarang ini. Jepang menjadi negara yang porsi utangnya terbesar terhadap PDB (456 persen).

"Utang meningkat kepada level melebihi apapun yang pernah kami lihat, kecuali selama perang-perang utama. Rasio utang publik sekarang ini berada pada angka yang fantastis di sejumlah negara. Negara-negara itu butuh implementasi perubahan kebijakan yang drastis. Stabilisasi saja mungkin tidak cukup," sebut studi Cecchetti.

Forbes pun melihat tidak ada tanda kondisi utang ini membaik. Utang akan terus terakumulasi. Dengan kecenderungan penerimaan pajak yang menurun untuk jangka panjang, sekalipun tarif pajak terus naik, maka utang akan terus bertambah. Tidak ada jalan lain untuk membayar utang selain dari mencetak uang. Kondisi itu membuat emas sebagai satu- satunya uang riil yang akan mempertahankan nilainya.

Emas kian langka?

Ada anggapan, emas akan langka di masa depan. Forbes melihat ini suatu hal yang mungkin. Pasalnya, sejumlah perusahaan pertambangan besar menyatakan sulit untuk mencari lokasi cadangan emas yang baru. Kedalaman untuk menemukan logam kuning ini bisa mencapai 4 kilometer. Bahkan kondisi suhu yang harus dihadapi bisa sampai 130 derajat Fahrenheit. Mahalnya biaya eksplorasi, ijin pemerintah setempat, hingga lama waktu sebuah pertambangan untuk berproduksi menjadi sejumlah tantangan lain untuk menghasilkan emas.

Di sisi lain, permintaan emas kian melonjak. Sebut saja Cina dan India, dua negara yang permintaan emasnya kini mencapai 52 persen dari total permintaan emas dunia. Di negara-negara barat, kepemilikan emas dalam bentuk reksadana memperketat pasokan emas di pasar. Misalnya saja di Inggris, reksadana SPDR Gold Shares (GLS) kini menyimpan 1.200 ton emas. Semakin banyak pembeli reksadana GLS dan reksadana sejenis lainnya, maka emas pun kian sedikit di pasar.

Menurut kontributor Forbes, Bert Dohmen, saat ini berada pada titik dalam siklus jangka panjang di mana lembaga-lembaga mulai mempertimbangkan emas sebagai investable alias aset yang layak dalam portofolio mereka. Harga emas, masih dalam fase awal menguat.

Pada tahun 1981, pihak Dohmen, memprediksi harga emas akan menurun selama 20 tahun dan kemudian diikuti siklus 30 tahun harga emas makin mahal.  "Harga emas mulai naik pada tahun 2001, tepat 20 tahun dari perhitungan (tahun 1981). Jika (prediksi) siklus 30 tahun pasar emas menguat benar, maka ada cukup sedikit kegembiraan di masa depan," cetus dia.

Menurut Dohmen, pada waktu memprediksi siklus harga emas, pihaknya belum mengetahui apa penyebab kenaikan harga si logam mulia tersebut. Namun sekarang, lanjut dia, dirinya tahu penyebabnya, yakni ancaman ledakan utang pemerintah di seluruh dunia.

Ditegaskanya, melunasi utang tidak bisa hanya dengan mengandalkan pajak saja, tetapi juga harus dengan mencetak uang. Contoh kasusnya, jika saat ini Amerika Serikat mempunyai utang federal sekitar 15 triliun dollar AS, dan meningkat 1,3 triliun dollar AS per tahunnya. Dengan angka bunga tahunan 3 persen, utang itu akan mencapai 62,8 triliun dollar AS dalam 20 tahun ke depan. Jumlah itu pun belum termasuk dana Keamanan Sosial dan kesehatan.

Sementara itu, karena bank sentral tidak bisa mencetak emas, bank sentral tidak suka masyarakat menyingkirkan uang demi memburu emas. Dohmen pun menduga, terjadinya koreksi harga emas yang tajam secara periodik adalah untuk menghambat investasi emas.

Pemerintah negara-negara  di seluruh dunia, menurut Dohmen,  hanya mempunyai satu cara untuk membayar utang, yakni dengan terus mencetak uang dan berutang lagi, yang pada akhirnya justru akan menghancurkan kekuatan membeli dari mata uang itu sendiri. Dan akhirnya emas pun muncul sebagai satu-satunya store of value alias  aset penyimpan nilai. Tapi untuk menuju kesana, emas akan sangat volatil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi 'Feeder' bagi Malaysia dan Singapura

Status Internasional Bandara Supadio Dihapus, Pengamat: Hanya Jadi "Feeder" bagi Malaysia dan Singapura

Whats New
Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Naik 36 Persen, Laba Bersih Adaro Minerals Capai Rp 1,88 Triliun Sepanjang Kuartal I-2024

Whats New
Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Jokowi Tambah Alokasi Pupuk Subsidi Jadi 9,55 Juta Ton di 2024

Whats New
Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Dampak Erupsi Gunung Ruang, 5 Bandara Masih Ditutup Sementara

Whats New
Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Kadin Gandeng Inggris, Dukung Bisnis Hutan Regeneratif

Whats New
Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada  Kuartal I 2024

Harita Nickel Catat Kenaikan Pendapatan 26 Persen pada Kuartal I 2024

Whats New
Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Bappenas Buka Lowongan Kerja hingga 5 Mei 2024, Simak Persyaratannya

Work Smart
Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kemenko Perekonomian Berupaya Percepat Keanggotaan RI dalam OECD

Whats New
Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Indonesia dan Arab Saudi Sepakat Menambah Rute Penerbangan Baru

Whats New
BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

BJBR Bukukan Laba Rp 453 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Microsoft Investasi Rp 27,6 Triliun di RI, Luhut: Tidak Akan Menyesal

Whats New
May Day 2024, Pengemudi Ojek Online Tuntut Status Jadi Pekerja Tetap

May Day 2024, Pengemudi Ojek Online Tuntut Status Jadi Pekerja Tetap

Whats New
BTN Imbau Masyarakat Tak Tergiur Penawaran Bunga Tinggi

BTN Imbau Masyarakat Tak Tergiur Penawaran Bunga Tinggi

Whats New
ADRO Raih Laba Bersih Rp 6,09 Triliun pada Kuartal I 2024

ADRO Raih Laba Bersih Rp 6,09 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Elnusa Bukukan Laba Bersih Rp 183 Miliar di Kuartal I-2024

Elnusa Bukukan Laba Bersih Rp 183 Miliar di Kuartal I-2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com