Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sektor Pertanian Stagnan

Kompas.com - 12/01/2012, 03:06 WIB

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Boediono menyoroti belum efektifnya kinerja sektor pertanian dibandingkan dengan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor tersebut. Ini tecermin dalam stagnasi produktivitas bidang pertanian.

Wapres menyampaikan refleksi itu saat memberikan sambutan dalam Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian 2012, Rabu (11/1) di Kantor Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta.

Hadir Menteri Pertanian Suswono, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, pejabat eselon I dan II lingkup Kementan, serta kepala dinas pertanian provinsi dan kabupaten.

Wapres mengingatkan, dalam pembangunan sektor pertanian, terkadang semua sibuk dengan masalah implementasi dari tahun ke tahun. Lupa dengan perspektif pembangunan pertanian. ”Ini bukan kritik, tetapi refleksi bagi kita,” katanya.

Secara historis, peran Kementan sangat strategis dalam menggerakkan pembangunan di Tanah Air hingga mencapai prestasi yang dibanggakan. Meski saat ini relatif menurun, 20-30 tahun ke depan masih sangat strategis.

Apabila melihat prestasi pembangunan sektor pertanian era 1970-1990, ada peningkatan produktivitas 2,4 persen. Ini on top dari peningkatan luas lahan, pupuk, dan input lain yang masuk secara normal.

Persoalannya, menjelang pertengahan 1990, tren produktivitas membalik. Produktivitas turun 0,6 persen per tahun sampai 2001. ”Setelah itu, saya bisa membayangkan kalau, toh, produktivitas tidak turun, barangkali stagnasi. Memang, ada beberapa tahun produktivitas ada yang naik, tetapi bukan tren, melainkan situasi khusus. Produktivitas naik karena input lebih banyak. Trennya stagnasi,” katanya.

”Kalau dikontraskan, ini bukan kritik dari pelaksanaan anggaran Kementan. Anggaran sektor pertanian naik pesat. Data 2009 menunjukkan, anggaran sektor pertanian Rp 8,2 triliun. Tahun 2012 naik menjadi Rp 17,8 triliun. Dalam tiga-empat tahun naik dua kali lipat,” katanya.

”Belum anggaran subsidi pupuk Rp 16 triliun, subsidi suku bunga kredit Rp 0,5 triliun, dan subsidi benih Rp 0,3 triliun. Dari segi anggaran, harusnya tidak ada keluhan untuk membalik tren produktivitas,” katanya.

Wapres memberi gambaran perhitungan produktivitas. Kalau input ditambah 10 persen, apakah itu pupuk, tanah, dan sebaiknya, dan hasilnya naik 15 persen, di sini ada kenaikan produktivitas 5 persen.

”Food estate”

Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan saat membahas soal food estate dengan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, kepala-kepala daerah se- Kaltim dan sejumlah BUMN di Balikpapan, Selasa (10/1) malam, menegaskan, pihaknya bakal bergerak cepat melakukan investasi pangan dengan alokasi anggaran Rp 9 triliun.

Dahlan Iskan menekankan, Kaltim adalah prioritas utama BUMN-BUMN pangan berinvestasi terkait dengan program food estate. Namun, apabila Kaltim yang sudah memastikan ketersediaan 200.000 hektar untuk food estate mempersulit proses, investasi akan dipindah ke daerah lain.

”Satu bulan ke depan bagi kami untuk mengkaji, apakah investasi di Kaltim atau tidak. Sayang jika Kaltim tidak bisa mengambil investasi Rp 9 triliun itu,” ujar Dahlan Iskan.

Ketergantungan Indonesia terhadap beras impor yang hebat membuat Dahlan Iskan miris. Mau tidak mau, solusinya Indonesia harus mencetak banyak sawah dan lahan pertanian baru. Tak hanya itu, semua pihak terkait dengan pangan harus dilibatkan dan BUMN-BUMN pangan yang pertama harus berjibaku.

”Jika kami kesulitan investasi di suatu daerah, kami akan cabut ke daerah lain. Yang kami gunakan bukan dana APBN, tetapi uang perusahaan harus dipertanggungjawabkan,” kata Dahlan Iskan. (MAS/LAS/PRA/ENY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com