Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyanyian Sumbang

Kompas.com - 04/03/2012, 03:46 WIB

Samuel Mulia

Di suatu malam, rekan usaha kecil-kecilan saya mengirim BBM menanyakan kapan bisa bertemu. Saya balas dan minta maaf kalau sampai sepuluh hari ke depan baru tersedia waktu untuk bertemu. Saya jelaskan kalau saat BBM diterima saya sedang rapat, dan besok saya ke luar negeri dan setelah itu harus menghadiri acara reuni fakultas kedokteran di Pulau Dewata. Kemudian saya lanjutkan lagi. Habis itu mati. Ia menjawab begini. ”Hush enggak boleh ngomong gitu. Mulut itu mencipta lho.”

Ke laut ”aje”

Di suatu siang, salah satu tim kerja saya melaporkan di ruang rapat mengenai klien kami yang mulutnya bersuara dengan kasar. ”Masak, Mas. Baru saja saya sampai sudah dibombardir dengan pertanyaan dengan suara yang ketus dan menggertak. Apa sih susahnya kalau bilang selamat pagi terlebih dahulu?” Kemudian ia bercerita panjang lebar soal mulut yang berkicau parau itu. ”Notulen rapat enggak dibaca udah main nyamber aja. Salah pula.”

Ruang rapat itu dipenuhi dengan kekesalannya mengenai si mulut parau itu. Bahkan, salah satu manajer tempat di mana kami akan melakukan kerja sama dengan si mulut parau itu sempat bercerita pada anak buah saya itu, bahwa ia sejujurnya kapok bekerja sama dengan klien kami itu. ”Awalnya saya mau mengatakan venue kami sudah penuh dan enggak bisa dipakai pada hari itu, tapi akhirnya saya terima juga hanya karena ingat ada Mas aja. Coba enggak ada, ke laut aje.”

Demikianlah Saudara-saudari, Bapak dan Ibu yang saya hormati, peristiwa macam itu saya yakini sudah pernah Anda alami. Kalau saya mengatakan alami, itu bisa dua kemungkinannya. Pertama, Anda yang jadi korban dari paraunya mulut seseorang yang bisa berpredikat bos, pemilik perusahaan, dan lain sebagainya.

Kedua, Anda adalah si mulut parau itu. Mohon maaf kalau saya terasa menyinggung, saya sama sekali tidak berpikir demikian. Saya hanya menjelaskan, dalam hidup ini, selalu saja ada kemungkinan yang bisa terjadi. Kemungkinan jadi korban atau dikorbankan.

Di hari Minggu ini, saya tak bermaksud membicarakan soal tingkat keparauan yang didendangkan, tetapi lebih kepada bercerita mengapa mulut itu bisa begitu sumbangnya dan terutama seperti kalimat yang di-BBM-kan rekan bisnis saya di atas. ”Mulut itu mencipta.” Kalau Anda mau mencari contoh, tak usah jauh-jauh, saya yang nyaris Anda temui setiap hari Minggu melalui kolom ini pernah menjadi contoh manusia bermulut parau. ”Pernah? Masih kaleee.” Suara macam itu tak usah dihiraukan.

Berulang kali saya menulis bahwa hasil yang keluar dari mulut adalah produk dari pabrik yang lokasinya di dalam. Buah itu bagus, yaaa… kalau pohon utamanya sehat walafiat. Yang bagian dalamlah mengambil peran super penting. Mengapa saya sering tak menaati aturan main, mengapa saya sebagai pimpinan sangat egois dan mudah naik pitam, tidak menggunakan mulutnya untuk bisa ramah dan disukai orang, itu karena pabriknya kacau. Mesinnya kotor dan jarang turun mesin karena merasa terlalu mahal atau bisa jadi gengsi untuk turun mesin.

Menjadi dewasa

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com