Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Laurens Bahang Dama, di Jakarta, Minggu (18/3), menjelaskan, pembahasan asumsi inflasi sengaja ditunda karena Badan Anggaran DPR memerlukan penjelasan secara khusus soal kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang akan menentukan besaran inflasi.
”Naik atau tidaknya harga BBM akan memengaruhi inflasi. Kalaupun naik, berapa besar kenaikannya juga akan menentukan besaran inflasi. Jadi, DPR perlu tahu dulu perhitungannya,” kata Laurens.
Anggota Panitia Kerja Asumsi Ekonomi Makro Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar, Satya W Yudha, menambahkan, selain inflasi, semua asumsi ekonomi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2012 telah disepakati akhir pekan lalu. Kesepakatan itu dicapai setelah Panitia Kerja Asumsi Ekonomi Makro Badan Anggaran DPR dan Kementerian Keuangan rapat tiga kali. Hari ini asumsi ekonomi makro tersebut disepakati.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen, produksi minyak siap jual sebanyak 930.000 barel per hari, harga
Pada APBN 2012, pemerintah mengusulkan inflasi sebesar 5,3 persen. Pada RAPBN-P 2012, asumsinya dikoreksi naik menjadi sebesar 7 persen. Koreksi itu salah satunya berkaitan dengan rencana pemerintah menaikkan harga bensin dan solar Rp 1.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter. Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah, sebagaimana pernah dikutip Kompas, menyampaikan, kenaikan harga bensin Rp 1.500 per liter dapat menambah inflasi sebesar 2,3-2,4 persen.
Kenaikan harga BBM akan meningkatkan tarif angkutan umum dan barang. Akibatnya, harga barang naik. Sebagaimana dipaparkan ekonom Kepala Bank Pembangunan Asia, Changyong Rhee, dalam sebuah seminar di Jakarta, beberapa waktu lalu, inflasi pada harga pangan dampaknya lebih besar dirasakan penduduk miskin dibandingkan dengan isu makro. Tingginya harga pangan secara langsung akan menggembosi usaha pengurangan jumlah penduduk miskin
Beberapa faktor yang mengombinasi tren kenaikan harga pangan, menurut Changyong, terdiri atas tiga faktor. Pertama adalah faktor struktural, di antaranya adalah meledaknya populasi dan lambannya pertumbuhan pendapatan masyarakat.
Kedua adalah faktor siklus, seperti perubahan iklim, melemahnya nilai dollar AS, dan melambungnya harga minyak mentah internasional. Ketiga adalah faktor yang berkaitan dengan kebijakan, di antaranya adalah
Satya W Yudha menyatakan, penurunan pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada penurunan penerimaan pajak. Asumsinya, setiap pertumbuhan ekonomi turun 0,1 persen berimplikasi pada surutnya penerimaan pajak sekitar Rp 7 triliun.
Artinya, Satya melanjutkan,
”Kami akan menanyakan ini kepada pemerintah. Kami akan meminta kepada pemerintah. Kalaupun penerimaan pajak turun, maksimal Rp 14 triliun,” kata Satya.