Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya Menegakkan Tulang Punggung Pangan

Kompas.com - 02/06/2012, 02:44 WIB

Apa jadinya kalau pemerintah jadi menutup industri pupuk badan usaha milik negara dan memilih mengimpor urea?

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Holding Company) Arifin Tasrif, seminggu yang lalu, di Jakarta, mengatakan, kalau kebijakan itu dijalankan, industri pupuk BUMN akan rugi. Petani memang akan mendapat harga pupuk murah. Anggaran subsidi bisa dihemat, tetapi itu sesaat.

Namun, buah pahit justru akan dialami saat ini. Petani bisa membeli pupuk dengan harga 500 dollar AS per ton, bahkan bisa 700 dollar AS. Itu pun kalau ada barangnya.

Harga pupuk yang terlampau mahal itu tidak akan sanggup dibeli petani. Untuk menyiasati itu, petani bakal mengurangi penggunaan pupuk atau tidak mau menggunakan pupuk sama sekali. Produksi pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai, bakal terganggu.

Berkaca dari pengalaman itu, industri pupuk ternyata menentukan bagi kelangsungan produksi pangan nasional.

Bagaimana agar industri pupuk bisa semakin kokoh menopang produksi pangan nasional?

Arifin mengatakan, tantangan industri pupuk sekarang dari negara lain. Amerika Serikat membangun pabrik pupuk berbasis sel gas, dengan harga bahan baku hanya 2,8 dollar AS per juta metrik british termal unit (MMBTU). China berbasis batubara dengan teknologi gasifikasi.

Swasta giat berinvestasi di pupuk NPK. Bahkan, pangsa pasar swasta di pasar pupuk komersial sekarang jauh lebih besar dari industri pupuk BUMN.

Di sisi lain, industri pupuk BUMN masih menghadapi tantangan soal kepastian bahan baku gas dalam jangka panjang.

Di tengah persoalan itu, kebutuhan pupuk nasional terus meningkat. Pengembangan pangan skala luas (food estate) membutuhkan lebih banyak pupuk. Pasar pupuk komersial untuk subsektor perkebunan juga besar dan terus meningkat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com