Menurut senior ekonom Standard Chartered Indonesia, Fauzi Ichsan, aturan kepemilikan ini relatif baru karena tidak disepakati sebelumnya dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Padahal, API semacam pedoman atau tujuan yang disepakati sektor perbankan.
”Apakah aturan ini bisa membantu penetrasi perbankan yang saat ini rasio kredit terhadap produk domestik bruto sekitar 30 persen?” tanya Fauzi Ichsan di Jakarta, Kamis (7/6).
Sejumlah hal yang diatur dalam API yang dirilis pada 9 Januari 2004 adalah modal minimal bank Rp 100 miliar. Selain itu, dalam 10-15 tahun mendatang, jumlah bank umum juga akan berkurang menjadi 35-58 bank dari 120 bank saat ini.
Rinciannya, 2-3 bank internasional bermodal Rp 50 triliun atau lebih, 3-5 bank nasional dengan modal Rp 10 triliun-Rp 50 triliun, dan 30-50 bank segmen tertentu dengan modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun.
”Aturan baru ini juga tidak akan mengurangi jumlah bank dengan seketika,” kata Fauzi
Kepala Biro Humas BI Difi Ahmad Johansyah yang dihubungi Kompas menyatakan, aturan kepemilikan ini menyiapkan bank berkualitas dan berdaya
”BI tidak mengasumsikan semua bank nantinya harus divestasi. Hanya bank yang tidak sehat,” ujar Difi.
Dalam diskusi tentang aturan kepemilikan saham bank, kemarin, Fauzi Ichsan juga memaparkan, kepemilikan asing terhadap bank di Indonesia bisa meningkat. Alasannya, investor asing memiliki dana untuk membeli saham bank, bahkan bersedia menata bank dan memperoleh keuntungan dalam waktu lama.
Sebaliknya, investor lokal
Aturan BI itu berdasarkan good corporate governance (GCG) atau tata kelola dan peringkat kesehatan (PK) bank. Bank dengan nilai PK dan GCG 3, 4, dan 5 harus mencari mitra baru. Masing-masing, yakni lembaga keuangan atau bank, korporasi, dan individu atau keluarga dibatasi 40 persen, 30 persen, dan 20 persen.
Kepala Ekonom PT Bakrie & Brothers Tbk Kahlil Rowter menyikapi secara kritis pentingnya transparansi dalam penilaian GCG. Kriterianya juga harus jelas agar tidak ada subyektivitas.
Di sisi lain, potensi penarikan dana besar-besaran terhadap suatu bank bisa terjadi tatkala bank itu disebutkan memiliki PK dan GCG buruk.
Risiko lain berupa perubahan perilaku pemilik bank. Dengan kepemilikan mayoritas, pemilik dan direksi bisa memiliki pemikiran yang sama.
”Kalau pemiliknya terlalu banyak, harus ada kompromi para pemiliknya. Apakah ada jaminan bahwa pemilik baru setelah divestasi lebih baik?” ujar Kahlil.
Menurut Difi, BI yang bisa memastikan bahwa mitra baru bank pascadivestasi akan lebih baik. Dengan demikian, kondisi bank juga membaik.
Saat ini masih ada bank umum dengan kondisi PK maupun GCG kurang dari 1 dan 2. Namun, Difi menolak merinci jumlah dan kategorinya.