Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengawasi "Ekonomi Hijau"

Kompas.com - 19/06/2012, 02:52 WIB

”Ekonomi hijau” adalah istilah yang licin. Pemaknaannya bisa sangat manipulatif. Implementasinya penuh tipu daya pihak yang lebih kuat.

Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai suatu kesatuan dari pertumbuhan ekonomi ”rendah karbon”. Yang dimaksud adalah pertumbuhan yang tidak mengandalkan bahan bakar fosil, penggunaan sumber daya yang efisien dan berkeadilan sosial.

Dari definisi itu, tak sulit menghubungkan gagasan ”ekonomi hijau” dengan isu perdagangan karbon dalam perundingan tahunan Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tentang REDD.

Seperti dikemukakan Larry Lohmann dari lembaga internasional yang mendukung gerakan komunitas untuk keadilan lingkungan dan sosial, The Corner House, ”Sulit untuk tidak mengungkap isu pasar karbon dalam ekonomi hijau.”

Kontroversi

Salah satu dari lima sektor prioritas pembangunan ekonomi hijau, menurut Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Dana Kartakusuma, adalah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

Ketika berkunjung ke Indonesia, Februari lalu, Lohmann mengingatkan, isu perdagangan karbon, apa pun mekanismenya, hanya melindungi penggunaan bahan bakar fosil sebagai pendukung produktivitas di negara maju dan melindungi industri energi yang makin besar. ”REDD tidak bisa mengompensasi dampak energi fosil terhadap perubahan iklim,” katanya.

Maka sebenarnya, pasar karbon dan gagasan ekonomi hijau ibarat dua sisi koin. Janji benefit sharing adalah omong kosong karena posisi tak setara. ”Gagasan ekonomi hijau tak lain adalah wajah kedua dari kapitalisme,” kata Tejo Pramono dari Serikat Petani Indonesia dalam diskusi Kompas (7/6).

Gagasan ekonomi hijau juga mengingatkan kepada revolusi hijau yang diperkenalkan tahun 1960-an dan dipercaya mengatasi masalah pangan di dunia. ”Namun, yang terjadi dari 1,6 juta varietas yang diproduksi petani, menjadi 80 varietas baru yang sebagian besar dikuasai korporasi internasional,” ujar Tejo.

Peneliti pada School of Democratic Economics Hendro Sangkoyo menambahkan, pada akhir 1960-an, Indonesia menjadi salah satu situs uji coba mimpi surplus pangan melalui penggelontoran pupuk dan pestisida kimia serta bibit rakitan pabrik (GMO).

Belum genap satu generasi kemudian, impian itu—lebih layak disebut mutasi hijau daripada revolusi hijau—mengerut menjadi target swasembada beras dan hanya bertahan seumur jagung. Impor beras bahkan meningkat sejak dekade pertama milenia kedua. Hal itu membuat petani kian terpuruk.

Tejo Wahyu Jatmiko dari Aliansi Desa Sejahtera mengingatkan, slogan-slogan pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment, yang diyakini ideal bagi pengembangan ekonomi, sebenarnya saling bertabrakan dan berpotensi meminggirkan yang lemah dan dilemahkan.

Empat syarat

Ekonomi hijau atau solusi apa pun, menurut Siti Maimunah dari Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, harus memenuhi empat syarat yang saling berkelindan, yakni keamanan manusia, memperhitungkan utang ekologi, hak atas tanah, serta pola produksi dan konsumsi.

Masalah besarnya, menurut Noer Fauzi Rahman dari Sayogyo Institute, adalah perubahan tata guna lahan yang drastis akibat pemberian konsesi kehutanan, perkebunan, pertambangan untuk perusahaan raksasa.

”Ekonomi hijau hanya bisa dirintis kalau rezim konsesi direformasi, termasuk pembatasan penguasaan dan pengusahaan tanah oleh perusahaan raksasa,” ujar Noer Fauzi Rahman dari Sayogyo Institute, ”Juga reforma agraria yang memastikan penguasaan tanah kesatuan-kesatuan adat dan petani kecil serta memulihkan layanan alam yang rusak, memberdayakannya secara politik-ekonomi.”

Noer Fauzi menemukan satu perusahaan raksasa mendapatkan konsesi hutan tanaman industri seluas 169.000-an hektar di Merauke untuk produksi wood pallet dan wood chips. Hutan adat dalam ekosistem dataran rendah dimasukkan ke dalam konsesi itu. ”Ini adalah contoh deforestasi yang vulgar,” kata Noer Fauzi.

Dia seperti hendak menabrakkan kenyataan ini dengan hiruk-pikuk ”ekonomi hijau”, yang menjadi primadona perundingan Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) di Brasil, 20-22 Juni 2012.

(MARIA HARTININGSIH/BRIGITTA ISWORO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com