Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Gelapnya" Ekonomi Hijau

Kompas.com - 21/06/2012, 02:35 WIB

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia telah menyebutkan bahwa ekonomi hijau digunakan untuk menaikkan komodifikasi, privatisasi, dan finansialisasi alam, sekaligus pemusatan kendali atas alam oleh elite-elite bisnis dan elite politik dunia ke level yang lebih tinggi. Model ekonomi hijau yang sedang dibicarakan saat ini semakin memfasilitasi penguasaan dan monopoli atas sumber daya penting kehidupan, seperti air, keragaman hayati, atmosfer, hutan, penguasaan lahan secara besar-besaran, bibit, dan sarana produksi lainnya.

Sistem ekonomi politik kapitalisme telah dengan sangat baik membajak agenda pembangunan berkelanjutan, dan tampaknya Konferensi Rio+20 menjadi jalan untuk restrukturisasi diri, di tengah berbagai kecaman atas kegagalan pelaksanaannya.

Bukan untuk rakyat

Pembangunan yang mengandalkan kekayaan alam tidak signifikan berkontribusi bagi kesejahteraan rakyat dan membuat bangsa ini bangkrut. Tingginya laju eksploitasi sumber daya alam, apalagi disertai konflik sosial, tidak sebanding dengan keuntungan finansial negara.

Penerimaan sumber daya alam (SDA) terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas bumi (migas) dan nonmigas seperti pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi. Penerimaan SDA tahun 2009 sebesar Rp 139 triliun, hanya memberikan kontribusi 16 persen dari total penerimaan negara Rp 871 triliun.

Rasanya hanya bermimpi jika kita berharap Pemerintah Indonesia bisa seperti Bolivia yang memperjuangkan konsep mother earth sebagai suatu konsep kehidupan yang holistik, di mana manusia dan makhluk lainnya hidup sebagai satu kesatuan yang saling terkait.

Bolivia menilai biang kerok kekacauan pembangunan adalah adanya pemisahan lingkungan hidup dan manusia. Hak atas ibu bumi yang dianut Bolivia ini juga dideklarasikan dalam konferensi rakyat untuk perubahan iklim, dan disetujui dan diadopsi oleh banyak kelompok hijau.

Namun, sebagai warga negara yang tinggal di bumi yang semakin merapuh, penting untuk menegaskan posisi masyarakat sipil agar kita bisa bersama-sama keluar dari jebakan mainstream pembangunan yang berbungkus ”hijau” tapi sesungguhnya tak lebih dari sekadar menyeret kita pada krisis dan problem yang terus berulang.

Mestinya, kita dapat mengelaborasi lebih banyak konsep ibu bumi menurut masyarakat Indonesia sebagai sebuah konsep tanding terhadap ide-ide pembangunan yang merusak lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Mama Aleta Baun dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, telah mengajarkan bagaimana mengelola kekayaan alam secara lestari.

KHALISAH KHALID Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Rasanya hanya bermimpi jika

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com