Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menggugat Sistem Alih Daya

Kompas.com - 24/09/2012, 04:08 WIB

Jumlah pekerja informal tetap tinggi (67 persen), jumlah pekerja alih daya terus meningkat melebihi pekerja tetap, pengangguran terselubung (bekerja di bawah 35 jam per minggu) terus membengkak, peserta Jamsostek hanya 9 juta dari 33 juta buruh formal, ketimpangan upah antara pekerja tetap dan kontrak melebar, serta Rasio Gini (mengukur ketimpangan pendapatan) meningkat dari 0,33 (2003) menjadi 0,41 (2011).

Yang paling diuntungkan dari sistem alih daya hanyalah pebisnis alih daya ka- rena tanpa perlu menjadi pengusaha mereka bisa menjadi pelaku bisnis dengan ”memperjualbelikan buruh”. Status mereka pun tak jelas dalam kerangka hukum ketenagakerjaan. Dalam relasi tradisional hubungan kerja, hubungan kerja terjadi karena tiga hal: ada pekerjaan, perintah kerja, dan upah. Pihak yang terlibat pun hanya ada dua: pengusaha dan buruh. Namun, dalam sistem alih daya, pelaku menjadi tiga pihak: pengusaha pemberi kerja, agen alih daya, dan buruh.

Buruh tidak lagi digaji langsung oleh pemberi kerja, tetapi oleh pihak lain yang sebenarnya tak memiliki pekerjaan. Biasa disebut majikan tanpa tempat kerja, pihak ketiga ini bisa dari badan koperasi, bisnis pelatihan, yayasan, LSM, serikat buruh, atau usaha terselubung aparat disnaker. Keuntungan didapat dari selisih gaji yang dibayar pengusaha pemberi kerja dengan gaji yang dibayar ke buruh.

Untuk mendapat keuntungan maksimum, modus operandi agen penyalur ini dilakukan dengan cara: tak membayar gaji layak, jika perlu di bawah upah minimum, berusaha tidak ikut program Jamsostek, tidak perlu memberikan pelatihan kerja, tidak ada bonus, tidak bayar pesangon, antiserikat buruh, dan tidak memiliki perjanjian kerja bersama.

Akibatnya, muncul ketidakjelasan tentang siapakah majikan buruh sesungguhnya? Buruh direkrut oleh agen, tetapi di- suruh bekerja di perusahaan lain. Mereka melakukan pekerjaan yang sama dengan buruh lain, tetapi mendapatkan gaji dan fasilitas yang lebih rendah. Secara terbuka, mereka mengalami diskriminasi upah di tempat kerja, padahal Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 111 tentang upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.

Dampak diskriminasi ini tak main-main. Buruh sulit merencanakan kapan kawin, punya anak, punya rumah, dan menabung akibat ketidakpastian kerja dan hilangnya kesempatan membangun karier. Ambisi pengusaha alih daya untuk mendapat keuntungan cepat membuat kondisi kerja biasanya buruk, jam kerja panjang, target kerja berlebihan, dan tekanan psikologis berat. Apalagi petugas pengawas ketenagakerjaan biasanya jarang mengawasi agen alih daya karena pemilik sering berada di luar wilayah pengawasannya.

Jika dianalisis secara praktis, alih daya hanya menguntungkan segelintir pelaku bisnis serakah. Pemerintah jangan berpi- kir akan diuntungkan dengan munculnya pajak dari badan usaha baru alih daya ka- rena dari segi pendapatan pajak, pemerintah pasti akan lebih banyak mendapat Pajak Penghasilan sebelum buruh dialih daya ketimbang setelah dialih daya. Sebab, pebisnis alih daya selalu menjaga agar upah yang diberikan tak sampai melewati batas pendapatan tidak kena pajak.

Untung jika membatasi

Namun, apa untungnya jika pemerintah membatasi alih daya? Pengalaman internasional mengonfirmasi bahwa buruh yang dilindungi dengan pekerjaan pasti akan memiliki akses mendapat jaminan sosial, akses menuju upah layak. Selanjutnya, itu akan menyumbang pada terjadinya peningkatan konsumsi, peningkatan tabungan jaminan sosial yang bisa menjadi sumber pembiayaan ekonomi bangsa, terhindar dari kesenjangan upah dan penurunan Rasio Gini, serta buruh lebih produktif.

Negara juga akan lebih tahan mengha- dapi gejolak krisis ekonomi. Namun, eskalasi alih daya yang tidak terkontrol akan membuat buruh rentan terhadap kemiskinan, gampang terimbas krisis ekonomi, gampang tersulut dalam peristiwa konflik sosial sebab seperti yang dilansir studi ILO, dalam masyarakat yang tinggi praktik precarious kerja, cenderung menghasilkan kehidupan yang rawan dan selanjutnya menciptakan masyarakat yang rawan. Sebaliknya, jika buruh memiliki kepastian kerja, sistem kerja tanpa diskriminasi akan menyumbang pada terciptanya masyarakat yang tenang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com