PURWOKERTO, KOMPAS
Hal ini mengemuka dalam seminar internasional mangrove ”Conservation & Community Empowerment” yang diselenggarakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jumat-Sabtu (6-7/10). Seminar menghadirkan Ketua Satuan Tugas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto; Guru Besar Georg-August-Universität Göttingen, Jerman, Michael Muhlenberg; Chan Hung Tuck dari International Society for Mangrove Ecosystem; dan Sanjay Swarup dari NUS Environmental Research Institute, Singapura.
Berdasarkan data terbaru Badan Informasi Geospasial, luas hutan mangrove di Indonesia hanya 3,2 juta hektar (ha). Jumlah itu 22 persen dari seluruh ekosistem sejenis di dunia, lebih sempit daripada luas hutan tropis kita sekitar 100 juta ha.
Muhlenberg, mengutip penelitian Ocean and Coastal Policy Program Duke University menyebutkan, menghancurkan 1 ha hutan mangrove, emisinya setara dengan menebang 3-5 ha hutan tropis. Penelitian Proceedings of the National Academy of Sciences menyebutkan, upaya menghindari emisi karbon dengan menjaga kelestarian hutan mangrove dilakukan dengan biaya 4-10 dollar AS per ton CO
Chan Hung Tuck mengatakan, hutan mangrove yang dikategorikan ekosistem lahan basah mampu menyimpan 800-1.200 ton CO
Kuntoro mengakui, pemerintah baru serius memperhatikan mangrove dalam skema REDD+ setelah beberapa tahun terakhir fokus pada hutan konvensional. Dia mendorong pemerintah daerah memiliki peraturan khusus terkait pelestarian mangrove.
Rektor Unsoed Edy Yuwono mengatakan, dampak hilangnya mangrove mulai dirasakan masyarakat pesisir. Rusaknya mangrove di kawasan Laguna Segara Anakan menyebabkan tangkapan ikan, kepiting, serta kerang di Cilacap berkurang.