Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengangkat Harkat Anyaman

Kompas.com - 27/10/2012, 02:57 WIB

 Oleh Agnes Swetta Pandia

Pensiun dari salah satu BUMN di Jawa Timur bukan alasan bagi Soebyantoro Soewandi (67) berhenti berkarya. Di usia yang sudah uzur, dia masih setia mengembangkan usaha kerajinan dengan bahan baku alami, seperti anyaman pandan, eceng gondok, mendong, dan lidi.

Mencari untung pasti, tetapi mengangkat harkat perajin lebih dari segalanya. ”Ketika perajin menyerahkan karyanya, selalu saya tanya jangan sampai rugi. Artinya, harga barang sudah termasuk biaya pembuatan,” kata ayah empat anak ini. Usaha kerajinan yang ia tekuni memproduksi sandal, tas, dan partisi berbahan baku pandan, eceng gondok, serta mendong—sejenis rumput yang tumbuh di rawa.

Anyaman pada sandal dan tas makin bervariasi, seperti batik dengan warna cerah. Sketsel atau partisi yang kini digandrungi pembeli di Jepang dan Korea Selatan terdiri dari empat daun yang umumnya diberi lukisan tokoh dunia pewayangan, bunga, dan burung sesuai dengan selera pemesan.

Awalnya partisi hanya menggunakan lidi. Namun ketika dipercantik dengan lukisan di bagian atas, permintaan meningkat, termasuk ke Jepang.

Soebyantoro rajin ikut pameran usaha kecil dan menengah (UKM) di sejumlah kota di Indonesia, termasuk Surabaya dan Jakarta, sebagai ajang mencari pelanggan. Dia terus mengikuti mode untuk sandal dan tas bagi kaum perempuan dengan bahan baku utama anyaman pandan.

”Sekarang pasar lagi senang warna tas ngejreng, ya dituruti saja supaya barang laris dan bahkan sering kehabisan stok,” kata pensiunan PTPN XI yang sempat menggeluti ekspor rumput laut ke China itu.

Usaha kerajinan anyaman dirintis kakek tujuh cucu ini atas ajakan seorang teman untuk menjadi pengepul anyaman pandan yang sangat banyak di Jawa Timur. Ketika itu, permintaan dari China tinggi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berbagai kerajinan di ”Negeri Tirai Bambu” itu. Anyaman pandan diolah lagi untuk dibuat sandal, tas, dan topi lalu diekspor kembali ke Indonesia untuk dipasarkan kembali dengan harga jauh lebih mahal dari sekadar anyaman.

Banting setir menjadi pelaku usaha kecil yang melibatkan banyak perajin anyaman pandan dilakoni setelah bisnis anyaman ke China tak lagi cerah. Perkenalan dengan perajin ketika memenuhi permintaan anyaman dari China, memuluskan keinginan suami Tarti Sinarjati (67) ini untuk terus mengeluti bisnis kerajinan anyaman dengan meningkatkan nilai tambah.

Selama menjalani bisnis anyaman pandan, dia mengenal banyak perajin dari Gresik, Lamongan, Mojokerto, dan Jombang di Jawa Timur. Para perajin ini setiap bulan memproduksi tikar anyaman sebanyak dua peti kemas atau 6.000 gulung, masing-masing berukuran 110 sentimeter x 180 sentimeter, untuk diekspor oleh Soebyantoro. Jadi, setiap bulan dia harus bisa mengumpulkan minimal 10.000 lembar tikar anyaman dari semua perajin itu.

Lima tahun menjalani profesi sebagai pengepul, permintaan tikar dari China cenderung mengalami penurunan. Dia pun sempat bertikai dengan mitra kerjanya dan bahkan ingin berhenti menggeluti bisnis ekspor anyaman. ”Saya memutuskan melanjutkan usaha kerajinan karena betapa banyak perajin menggantungkan hidup dari anyaman pandan,” katanya.

Soebyantoro lalu mengikuti Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PTPN XI dan secara perlahan produknya dengan merek Virces Handicraft diikutkan pada setiap pameran. Awalnya barang yang dipamerkan masih terbatas karena kemampuan untuk memotivasi perajin belum ada. Semangat menjadi pelaku usaha kembali membara ketika dia bertemu perajin sandal di Sidoarjo, Jawa Timur.

Dia kembali mencoba menjalin kerja sama dengan para perajin dengan syarat tidak membuat model sama dengan yang dikirim ke luar Pulau Jawa. Apalagi, produk kerajinan membidik pasar menengah ke atas, jadi tidak boleh asal-asalan dan kualitasnya tidak mengecewakan pelanggan.

Sejak saat itu, Soebiyantoro—kini melibatkan cucunya dalam mengembangkan usaha—memutuskan untuk memamerkan sandal jepit dari anyaman pandan, eceng gondok, dan mendong serta beberapa tas yang merupakan hasil kerajinan. Sejak itu, dia rajin mengikuti pameran sambil mengembangkan produksinya. ”Pameran juga kesempatan mencari ilmu dan mengasah keterampilan karena, begitu model satu sudah ada, harus membuat inovasi baru lagi agar produk tidak ditinggal pasar,” ujarnya.

Selama pameran, rupanya dia tidak sekadar menjual sandal dengan harga rata-rata Rp 25.000, tas Rp 90.000, dan partisi lima daun dengan tinggi 166 sentimeter dan lebar 41 sentimeter bisa mencapai Rp 2,7 juta. Pada saat-saat itu, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, itu mendapat kritik dan masukan dari pembeli. Berbekal saran tersebut, Soebyantoro memperbaiki produksinya. ”Saya ingin produk kami ini kuat tidak karena bahan baku alami, tetapi juga dari corak dan warna sehingga pada anyaman bisa dibuat corak batik atau lukisan dan tidak cepat rusak,” tuturnya.

Dia berusaha terus memperbaiki kualitas sandal dari anyaman pandan ataupun yang terbuat dari anyaman lidi, yang bahan bakunya umumnya berasal dari Tasikmalaya dan Yogyakarta. Saran dan kritik selalu disampaikan kepada perajin yang bermitra dengan dia.

”Bagaimanapun, produk yang dilempar ke pasaran mulai Surabaya, Jakarta, Makassar, sampai Hongkong tidak selalu sukses. Namun, pasar tetap terbuka,” katanya.

Suatu saat ada permintaan sandal jepit terbuat dari anyaman eceng gondok yang bermotif. Soebyantoro membuat produk serupa menggunakan bahan lain, tetapi kurang disukai pasar. Kini order berupa tas dan sandal semakin beragam karena corak dan model disesuaikan dengan selera pasar.

Dia berharap pemerintah membantu perajin usaha mikro, kecil, dan menengah memasarkan produk mereka. Alasannya, kerap terjadi perajin memiliki barang layak jual, tetapi lemah dalam memasarkan barang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com