”Bahan bakar gas (BBG) yang ada sekarang, dari informasi yang saya dapat, dikeluhkan banyak kandungan airnya. Air itu jadi residu yang mengendap di tabung gas pada bus,” kata Direktur Institut Studi Transportasi Darmaningtyas, Jumat (9/11).
Kepala Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta M Akbar, akhir Oktober lalu, sempat menyatakan, BBG yang diisikan ke bus sering mengandung oli. Ini membuat mesin tidak awet.
Kini, menurut Akbar, setiap bus BBG yang akan dioperasikan harus masuk bengkel dulu untuk dilengkapi penyaring khusus agar residu BBG tak masuk ke dalam mesin.
”Residu BBG ini yang merusak mesin,” tambah Akbar, Jumat.
Penggunaan gas berkualitas buruk ini merupakan pemborosan. Sebagai perbandingan, semestinya 1 liter gas setara Premium bisa digunakan untuk menjalankan bus sampai 1,5 kilometer. Akan tetapi, akibat kualitasnya buruk, 1 liter gas hanya dapat menjalankan bus sejauh 1 km.
”Sementara stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBE) hanya ada empat di Jakarta. Kalau bus di Pluit kehabisan bahan bakar, bus ini harus keluar jalur dulu untuk isi BBG di SPBE di Jalan Pemuda. Ini sudah sangat tidak efisien,” tambah Akbar.
Jumat, Akbar kembali menegaskan pentingnya peningkatan kualitas BBG untuk menunjang operasional bus transjakarta agar lebih efisien dibandingkan bus berbahan bakar solar. Dalam sehari, bus BBG harus mengisi ulang gas dua kali, sedangkan yang berbahan bakar solar cukup satu kali sehari.
”Kebutuhan peningkatan kualitas BBG sangat mendesak karena hingga akhir tahun 2012
Saat ini ada 477 bus BBG yang dioperasikan hampir di setiap koridor. Jika ditambah dengan bus gandeng BBG yang akan dioperasikan, jumlahnya menjadi 619 armada.