Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gagal Jadi Arsitek, Sukses Berbisnis Steik

Kompas.com - 08/06/2013, 08:32 WIB

Pelan-pelan, Jody menambah peralatan. Ia juga merekrut pegawai untuk melayani pembeli yang semakin banyak. ”Setahun sejak buka di Demangan, kami membuka satu cabang lagi,” ujarnya.

Untuk pembukaan gerai kedua, Jody mengajak kerabat dan temannya menanam modal dengan pola bagi hasil. Pola itu dipakainya sampai gerai kedelapan. Di gerai kesembilan dan seterusnya, Jody mendanai sendiri. ”Asal bisa menyesuaikan inovasi dengan kebutuhan pasar, bisa berkembang terus. Masukan pelanggan selalu kami perhatikan,” tuturnya.

Masukan pembeli tetap diandalkan dalam pertimbangan pengembangan usaha. Menu-menu baru dihadirkan untuk menyesuaikan permintaan pelanggan. Meski bermerek Waroeng Steak and Shake, gerai-gerai Jody juga menyediakan menu dengan bahan utama nasi. Padahal, steik biasanya disantap dengan kentang goreng.

Pengembangan

Saat Waroeng Steak and Shake semakin berkembang, Jody kembali membuat keputusan untuk berkonsentrasi penuh. Ia tinggalkan Obonk agar bisa sepenuhnya mengurus Waroeng Steak and Shake. Sejak 2002, ia fokus mengembangkan Waroeng Steak and Shake yang terus menambah gerai.

Konsentrasinya membawa hasil menggembirakan. Kini, ia mengelola 50 gerai Waroeng Steak and Shake di sejumlah kota. Ia juga membuka gerai aneka makanan dengan bendera Festival Kuliner. Bisnis kulinernya dilengkapi dengan Waroeng Penyetan dan Bebaqaran serta delapan gerai waralaba merek lain. Ia juga merambah bisnis olahraga dengan membuka arena futsal.

Meski yakin pasar Indonesia masih terbuka sangat luas, Jody sudah mulai mempersiapkan ekspansi ke luar negeri. Untuk pasar luar negeri, Waroeng Group akan menggunakan pola waralaba. ”Untuk pengembangan pasar Indonesia, kami berusaha dikelola sendiri dengan dana sendiri,” ungkapnya.

Wajar ia yakin bisa mendanai sendiri pembukaan gerai baru. Dalam salah satu kuliah umum di Yogyakarta terungkap, salah satu gerainya di Yogyakarta beromzet rata-rata Rp 500 juta per bulan. Padahal, ia mengoperasikan puluhan gerai.

Namun, tidak semua dinikmati sendiri oleh Jody. Salah satu gerainya di kawasan Gejayan, Yogyakarta, didedikasikan untuk kegiatan amal. Seluruh keuntungan dari gerai itu dipakai untuk mendanai Rumah Tahfidz, pesantren penghafal Al Quran dengan santri hampir 2.000 orang. Selain dari gerai itu, Jody juga menyumbangkan sebagian keuntungan dari unit usaha lainnya untuk mendanai tujuh Rumah Tahfidz yang dikelolanya. ”Saya dibantu teman-teman, tidak menanggung sendiri,” ujarnya merendah.

Jody memang selalu tampak bersahaja dan merendah. Jika bertemu sepintas, sama sekali tidak terlihat sosok orang muda pemilik bisnis beromzet puluhan miliar rupiah per bulan. Bisnis yang dibangun dengan kerja keras sendiri, bukan warisan. Kerja keras dalam 12 tahun mengantarnya dari pemuda yang batal jadi arsitek tetapi menjadi raja steik. (Kris Razianto Mada)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com