Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisruh Kedelai, Balada Konsumen Tempe dan Tahu

Kompas.com - 11/09/2013, 07:14 WIB


KOMPAS.com -
Meski sering dianggap sebagai makanan ”rendahan”, tempe yang kosong membuat warga kelimpungan. Di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, misalnya, sejumlah warga kecewa karena tidak menemukan satu pun lapak yang menjual tahu ataupun tempe. ”Kosong semua. Tidak ada yang jualan tempe,” kata Sani (37), seorang warga.

Aktivitas di pasar yang lokasinya berdampingan dengan perkampungan sentra industri tempe dan tahu Kedaung, Pamulang, Tangerang Selatan, ini berjalan normal. Namun, di pasar ini tidak ditemukan lapak yang menjual tempe atau tahu.

Menurut Totok Subroto, Wakil Ketua Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia Tangerang Selatan, perajin bakal mulai berjualan pada Kamis. Mereka meminta maaf kepada warga karena mogok dan menaikkan harga jual agar usaha mereka tidak bangkrut.

”Sulit dengan harga itu. Biaya pengolahan untuk tiap kilogram kedelai, seperti untuk ragi, plastik, daun pisang, dan tenaga, rata-rata Rp 3.000. Sementara kedelai sekarang sudah mencapai Rp 9.400 per kilogram. Jadi, total biaya produksinya sekitar Rp 12.400,” tutur Totok.

Akan tetapi, akibat mogok operasi sejak Minggu (8/9/2013) hingga Rabu (11/9/2013), sejumlah pekerja tidak mendapat upah harian yang rata-rata mencapai Rp 25.000 per hari.

”Bagaimana mau mengupah mereka, wong enggak ada produksi jadi enggak ada penghasilan. Mereka (pekerja) juga mendukung aksi mogok beroperasi ini. Mereka baru bekerja setelah aksi mogok,” kata Sumarni (49), perajin tahu dan tempe, di Gang Jambu, Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, yang sudah lima tahun meneruskan usaha ayahnya.

Hal sama juga dikemukakan Tarjo (57), perajin tempe asal Pekalongan, Jawa Tengah, di Gang Haji Aom, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Menurut Tarjo, dia harus mendukung langkah mogok produksi tempe yang kini dilakukan perajin tempe dan tahu yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo).

”Ini pelajaran buat pemerintah yang tak mau perhatian ke ’anak-anaknya’,” ujar perajin tempe yang sudah berusaha sejak tahun 1978 silam.

Untungnya, Tarjo membuka warung kecil-kecilan di rumahnya sehingga bisa menambah penghasilan.

”Wah, kalau enggak ada warung istri saya, saya sudah bangkrut, Mas,” katanya.

Imbas kenaikan harga tersebut membuat pedagang gorengan waswas. Pedagang gorengan di Pasar Kebayoran Lama mengaku bingung. ”Pasti naik, tetapi belum tahu berapa. Harus lihat dulu dari pemasok. Tetapi, mungkin minimal 10-20 persen,” kata Trimo, pedagang tahu.

Tidak terkendali

Menurut Trimo, harga tempe dan tahu sempat tidak terkendali kenaikannya selama dua pekan terakhir. Harga tempe satu papan biasanya Rp 5.000 kini sampai Rp 7.500-Rp 8.000. Tahu rata-rata sudah naik, dari awalnya Rp 2.000 per 10 buah untuk ukuran kecil, menjadi Rp 3.000.

Mereka bingung harus menjual gorengannya dengan harga berapa. Hal itu yang dirasakan Asep. ”Saya itu sudah lima tahun jual gorengan. Dari gorengan masih Rp 200 per biji sampai sekarang Rp 1.000 per biji. Naik lima kali lipat, untuk tempe tepung yang ukurannya sama,” kata Asep, tukang gorengan di Taman Puring, Jakarta Selatan.

Pada akhirnya seluruh kenaikan itu dikembalikan Asep dan Trimo kepada konsumen yang menganggap lauk tempe dan tahu goreng, murah, kaya protein, dan enak.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com