Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Umar Husain, "Penjahit Asa" Penduduk Desa

Kompas.com - 18/09/2013, 18:09 WIB
Kontributor Surabaya, Achmad Faizal

Penulis


KOTAWARINGIN TIMUR, KOMPAS.com 
— Keterbatasan fisik ternyata bukan halangan untuk berbuat baik bagi sesama. Adalah Umar Husain (34), laki-laki dengan keterbatasan fisik yang justru berhasil mencetak beberapa rekannya yang normal untuk menjadi penjahit. Profesi itu sampai saat ini terus dimaksimalkan sehingga mampu menghidupi keluarga rekan-rekannya.

Dari delapan orang rekan yang menjadi muridnya, empat di antaranya sekarang sudah mandiri dan memiliki mesin jahit sendiri.

"Saya juga berusaha dengan cara apa pun agar mereka memiliki mesin jahit sendiri karena sayang jika pengalaman yang saya berikan tidak dimanfaatkan dengan baik," kata pria kelahiran Kotawaringin Timur, 1 Februari 1979 ini.

Umar yang kaki kanannya cacat sejak lahir itu bukanlah pengusaha besar di bidang konveksi. Di lingkungan tempat tinggalnya di Desa Parebok, Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dia justru dikenal sebagai penjahit yang hidupnya pas-pasan.

Istrinya, Supriyatun, hanya sebagai guru madrasah juga dengan gaji pas-pasan. Keduanya hidup di rumah berbahan kayu dengan satu kamar. Showroom jahitannya satu ruang dengan dapur.

Umar mengaku sangat ikhlas dan tidak berharap imbalan apa pun dalam membagi keahliannya. Bahkan, jika mereka merasa kesulitan pergi ke rumah Umar untuk belajar karena jarak yang cukup jauh, Umar bersama istrinya bersedia mendatangi mereka dengan motor yang dimilikinya.

"Saya hanya ingin, sedikit yang saya miliki bermanfaat bagi orang lain, apalagi keahlian itu sebagai tulang punggung keluarga," ujarnya.

Masuk panti rehabilitasi

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Umar menjadi penjahit seperti sekarang ini. Sebenarnya, keluarga ingin mencetak dia sebagai pengajar ilmu agama. Karena itu, sejak kecil, dia dikirim orangtuanya ke sebuah pesantren di Pasuruan, Jawa Timur.

''Saya berpikir, akan jadi apa saya jika hanya mengejar kepentingan akhirat, tapi kepentingan dunia tidak saya hiraukan,'' terangnya.

Umar pun memutuskan untuk keluar dari pesantren dan masuk ke Panti Rehabilitasi Sosial Bina Dhaksa di Pasuruan atas petunjuk rekannya. Di sanalah dia mulai mengenal dunia konveksi. Mulanya dia memilih keahlian di bidang elektronik. Tapi menurut pembimbingnya, dia lebih tepat di bidang konveksi karena memiliki kecepatan dalam hal potong-memotong.

Dianggap sudah piawai, Umar pun dikirim oleh panti ke sebuah perusahaan konveksi di Surabaya. Di sana, keahlian Umar terus bertambah, dari membuat pakaian pria, sampai menjahit celana.

Karena sesuatu hal, Umar kemudian keluar dari perusahaan itu, dan memilih bergabung di perusahaan Handycraft yang khusus mempekerjakan para penyandang cacat. ''Di sini, saya mulai bisa mendesain, dan berkreasi membuat model baju pria dan laki-laki,'' kata Umar.

Di perusahaan produksi kerajinan ini, Umar juga bertemu Supriyatun, wanita pujaan hatinya yang kemudian dipersuntingnya menjadi istri. Lebih dari dua tahun, Umar bekerja di satu perusahaan bersama istrinya.

Saat Supriyatun hamil, muncul niat keduanya untuk kembali ke Sampit dan membina keluarga di tanah kelahiran Umar.

Sayangnya, saat hendak berangkat ke Sampit, Supriyatun yang usia kandungannya menginjak tiga bulan mengalami keguguran. Namun, tekad Umar untuk kembali dan membangun kampung halaman tetap kuat. Keduanya pun pulang ke Sampit tanpa janin dalam kandungan yang diidam-idamkan.

Masa sulit

Pada 2007, Umar membawa istrinya kembali ke desa tanah kelahirannya. Berbekal sisa tabungan dan mesin obras yang digendongnya dari Surabaya, Umar memulai hidup baru di tanah Mentaya. Keduanya mengalami hidup yang cukup berat, tanpa penghasilan, dan tanpa pelanggan jahitan.

Meski berbekal keahlian menjahit, dia harus berjuang untuk bisa hidup di perdesaan yang relatif sepi. Seiring berjalannya waktu, keahlian Umar dalam menjahit pakaian tersebar dari mulut ke mulut. "Mulanya saya tidak mematok harga jika ada order; dikasih berapa pun, saya terima," kata pria yang ayahnya meninggal saat kerusuhan Sampit pada 2001 silam itu.

Berita keahlian Umar pun kian tersebar. Order pun mulai banyak, apalagi Umar terkenal sebagai penjahit yang selalu tepat waktu.

Sejak berada di Surabaya, Umar memang memiliki kelebihan kecepatan yang tinggi dalam menyelesaikan jahitan. Dalam sehari semalam, dia mengaku mampu menyelesaikan 15 potong pakaian pria.

Sejak saat itu, keadaan ekonomi keluarga Umar mulai berangsur membaik. Terlebih lagi, istrinya, Supriyatun, juga diminta mengajar di salah satu sekolah di Desa Parebok. Order jahitan juga banyak datang dari sekolah tempat istrinya mengajar. Karena terkenal murah dan cepat, sekolah-sekolah di desa lain juga kerap memesan seragam kepada Umar.

"Jika banyak order jahitan, ditambah penghasilan istrinya, dalam sebulan, dia mampu mengumpulkan uang sebesar Rp 1,5 juta. Jika sepi, cuma berharap pada gaji istri," ungkap Umar.

Sayangnya Umar mengaku tidak dapat mengembangkan usahanya karena keterbatasan modal. Lokasi desa yang terpencil membuatnya kesulitan mengakses modal perbankan atau dana program pemberdayaan usaha yang kini terus digulirkan pemerintah.

Pada saat yang sama, Umar tidak saja sibuk dengan order jahitannya. Sebagai alumnus pesantren, dia memiliki tanggung jawab moral untuk menularkan ilmu agamanya. Karena itu, dia juga bersedia mengajar anak-anak tetangganya untuk mengaji setiap habis shalat maghrib di pesantren dekat rumahnya, tanpa imbalan apa pun.

Di tengah hidupnya yang serba pas-pasan, Umar masih bisa membawa dua anak angkat. Keduanya adalah anak dari familinya yang kondisi perekonomiannya jauh lebih parah dari dirinya. Karena jasa Umar, kedua anak tersebut bisa bersekolah hingga di tingkat SMU.

Perjuangan tukang jahit dari tanah Mentaya ini untuk orang-orang sekitarnya masih panjang. Dia masih memimpikan sebuah wadah untuk orang-orang cacat dalam menyalurkan keahliannya sehingga dapat diberdayakan secara ekonomi.

"Saya tidak rela jika orang-orang seperti saya kehilangan mimpi-mimpinya. Meskipun fisik mereka tidak sempurna, mereka tidak boleh menjadi beban keluarga. Mereka harus bangkit dan berguna bagi keluarganya dan masyarakat pada umumnya," pungkas Umar.

Umar Husain, "Si Guru Jahit dari Mentaya" adalah satu dari lima calon penerima penghargaan Danamon Social Entrepreneur Awards (DSEA) 2013. Keempat calon lainnya adalah Mas Jiwo Pogog (Sukoharjo, Jawa Tengah), Sunarni (Depok, Jawa Barat), Eko Mulyadi (Ponorogo, Jawa Timur), dan Sukmariyah (Tangerang, Jawa Barat).

DSEA 2013 digelar dalam memperingati HUT ke-57 Bank Danamon untuk mencari sosok entrepreneur sosial yang tidak hanya memiliki visi profit bagi dirinya sendiri. Dengan keahlian tradisional yang dimilikinya, sosok ini juga mampu menyejahterakan masyarakat di sekitarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com