Lalu apa yang akan terjadi?
Karena semua dosen yang memiliki NIDN dan NIPN (sebagai jaminan kariernya) akan terdaftar dalam data base PDPT (Pusat Data Perguruan Tinggi), maka mereka tidak bisa diklaim di universitas lain, atau bahkan program studi lainnya dalam universitas yang sama. NIDN ini bisa dipindah, walaupun biasanya dihambat oleh kampus homebased-nya, kecuali jika si dosen memang tak diinginkan lagi. Jadi mungkin saja kelak akan muncul masalah hukum yang panjang,
Tambahan pula menurut peraturan baru itu, untuk mengurus NIDN, seseorang tak bisa lagi melakukannya bila sudah lewat usia 50 tahun (kecuali anda mempunyai kualifikasi/kompetensi khusus). Padahal, dulu banyak PNS yang baru mengambil program doktor menjelang pensiun dan menjadi dosen setelah pensiun (diatas 55 tahun).
Jadi anda harus berkarier sebagai dosen sedari muda, jangan tunggu kalau sudah bergelar doktor atau menjelang pensiun. Ingat, dosen itu ada jenjang jabatannya. Dan semua ada nilai ekonomi dan reputasinya.
Ini belum cukup. Dosen-dosen yang mengurus NIDN pun harus mempunyai kemampuan akademik (TKDA, Tes Kemampuan Dosen Akademik) dan bahan Inggris (TOEFL minimal 510, PBT). Bayangkan bila sudah uzur baru ikut ujian TOEFL, dijamin sulit lulus.
Lalu orang-orang yang mempunyai status sebagai pegawai BUMN, PNS pada kementerian /pemerintahan kota/ kabupaten, pegawai/anggota Polri/ TNI, anggota aktif parpol dan legislatif, konsultan hukum, pengacara, notaris dan apoteker pun tak bisa mendapatkan NIDN. Mereka harus fokus.
Ini berarti, akan terjadi market shrinking. Populasi pasar tenaga akademis yang bisa menjadi dosen tetap akan lebih tersaring, lebih selektif, mengerucut. Menjadi lebih muda, berpendidikan, tertata, kariernya lebih jelas, lebih fokus, dan jenjang akademisnya lebih dihargai. Dan tentu harganya akan lebih mahal.
Kampus-kampus PTS yang ingin mengejar reputasi dan akreditasi yang tinggi, tentu akan mengejar status dosen tetap. Memperebutkannya dari “pasar” tenaga akademik yang akan lebih terbatas. Itu pun mereka memilih yang lebih melayani, punya panggilan Tridharma perguruan tinggi yang kuat, dan disiplin.
Artinya, perpindahan dosen antar kampus, sekalipun akan dihambat, tak lagi dapat dihindarkan. Semua terpulang siapa yang bersedia memberi “tempat yang lebih layak”, lebih kompetitif, lebih manusiawi, lebih punya reputasi, dengan mahasiswa yang berkualitas, dan memberi ruang bagi kebebasan mimbar akademik.
Dalam pengurusan NIDN pun, ada ketentuan bahwa dosen harus menunjukkan surat pengangkatan yang mencerminkan bahwa ia diberi imbalan yang layak (di atas KHM), jaminan hari tua dan kesehatan. Bahkan hak untuk mendapatkan promosi dan penghargaan, dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya, serta kebebasan berserikat dinyatakan dalam ketentuan itu.
Tantangan Bagi Rektor dan Konglomerat
Badan pengelola PTS (yayasan) tentu perlu berpikir lebih keras untuk menyediakan sumber sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen berkualitas. Demikian juga bagi PTNBH perlu bekerja lebih cerdas menggali dana-dana baru di luar BOP (Biaya Operasional Pendidikan) yang dibayar mahasiswa.
Kalau semua beban dialihkan pada peserta didik, maka universitas akan kesulitan mendapatkan bibit –bibit unggul. Dan tentu saja akan bertentangan dengan semangat keadilan, dan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kalau tidak, dana-dana penelitian dan perawatan, fasilitas laboratorium dan kegiatan kemahasiswaan bisa terancam dialihkan. Ini tentu bukan pilihan tepat.
Kebijakan ini, di satu pihak, adalah baik bagi para akademisi dan dunia akademik, sekaligus bisa menumbuhkan budaya ilmiah. Dosen juga akan jauh lebih dihargai. Tekanan ini sesungguhnya baik untuk melahirkan kehebatan baru bagi organisasi universitas. Namun di lain pihak ini juga menandakan era baru leadership perguruan tinggi yang lebih menantang.
Dan tentu saja, hal ini menjadi tantangan bagi para taipan dan konglomerat yang belakangan begitu bergairah membuka kampus dengan namanya sendiri. Bukankah lebih baik bekerjasama dengan PTN saja, dengan dana-dana CSR yang lebih “gres”. Di sana Anda pun dapat menaruh nama Anda pada berbagai event atau bahkan gedung seperti yang sudah dilakukan di berbagai kampus bereputasi tinggi di negara-negara maju.
Mengelola sendiri PTS, akan menjadi jauh lebih mahal, boros, dan belum tentu dapat mencapai visi-misi pribadi. Apalagi bila gagal menempatkan orang-orang yang tepat dalam yayasan. Inilah kasus yang tengah terjadi di banyak yayasan milik para taipan, yang maaf, organisasinya “dibajak” oleh orang-orang yang bukan pendidik. Coba deh periksa lagi.
Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selain itu, pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul "Self Driving": Merubah mental passengers menjadi drivers.