Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/09/2014, 06:00 WIB

                                          Prof Rhenald Kasali
                                            @Rhenald_Kasali

KOMPAS.com - Dunia akademik memasuki babak baru. Kalau tak ada rintangan, maka ini kabar gembira bagi para dosen berdedikasi, namun sekaligus “kabar menarik” bagi para rektor PTN-BH (Badan Hukum) dan tentu saja pengelola yayasan PTS (Perguruan Tinggi Swasta).

Kabar gembira bagi para dosen, karena “peta pasar” tenaga akademik memasuki babak awal perubahan. Dosen akan menjadi rebutan, “harganya” akan naik, kualifikasi wajib ditingkatkan. Namun ini tentu hanya berlaku bagi dosen yang punya karya dan panggilan yang pas sebagai akademisi yang bersungguh-sungguh menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi.

“Kabar menarik” bagi para rektor PTN-BH adalah karena dosen-dosen PTN yang tak diberi imbalan layak akan sangat mungkin pindah. Ini berarti para rektor harus bekerja lebih keras mencari dana-dana baru di luar uang kuliah yang dibayar para mahasiswa. Artinya para rektor harus lebih entreprenerial. Bila tidak, maka kampusnya akan ketinggalan zaman, biaya riset, perawatan dan kegiatan mahasiswa bisa dikorbankan, dan reputasinya menjadi pertaruhan besar.

Karakter Lama

Untuk jelasnya, saya mulai dulu dengan analisis From-To dari geliat perubahan ini. Kita mulai dari “From”-nya, yaitu tenaga akademik di masa lalu.

Begini, dulu, lulusan S1 boleh mengajar di program studi S1, bahkan boleh diklaim sebagai dosen untuk berbagai program studi di satu kampus. Ia diberi honor per SKS, di samping ada yang terima gaji tetap, walau jumlahnya tak seberapa.

Saya ingat, dulu saya memulai karir sebagai asisten dengan honor Rp 15.000,-  per bulan. Itupun dirapel enam bulan sekali. Padahal saat itu gaji pegawai lulusan S1 sudah mencapai sekitar Rp 750.000-Rp 1.250.000 per bulan.

Kalau sudah senior, lumayanlah. Bisa mencicil kendaraan roda empat yang paling murah. Tetapi dosen harus bekerja keras cari sekolah lanjutan sendiri. Akibatnya, banyak yang nyambi di sana-sini dan tak menulis karya ilmiah. Satu orang bisa mengajar di tiga hingga lima kampus, antara lima hingga dua belas mata kuliah supaya bisa hidup layak.

Tambahan pula, dulu usia berapa saja bisa menjadi dosen. Bahkan pensiunan PNS pun bisa. Pegawai BUMN  atau anggota TNI/Polri pun tak masalah. Status dosen tak tetap sudah cukup menggiurkan.
 
Lantas Bagaimana Sekarang?

Coba bukalah Permendikbud No 84/2013 yang dikeluarkan Mendikbud 12 Juli 2013. Ini adalah turunan dari UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Di sana Anda akan menemukan konsep penataan Perguruan Tinggi yang memberi value yang lebih baik bagi para dosen. Namun ingat implicitly, saya melihat ini juga sekaligus menantang bagi para rektor.

Bagaimana penjelasannya? Inilah “To” nya (dan analisis”From-To” tadi).

Di perguruan tinggi negeri, ada dosen-dosen tetap berstatus PNS, dan non PNS. Lalu di PTS, dosen-dosen lebih diarahkan pula menjadi dosen tetap. Nah, dosen-dosen tetap ini tidak bisa lagi mendaftar di beberapa kampus. Mengapa begitu?

Dosen-dosen itu akan memperoleh NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional, untuk yang sudah S2) atau NIPN (Nomor Induk Pengajar Nasional, untuk dosen- dosen yunior). Nah nomor induk itu bersifat eksklusif, hanya bisa dipakai untuk satu kampus saja sehingga memberikan dorongan kampus untuk merekrut dosen tetap.

Nah jumlah dosen tetap ber NIDN ini kelak akan sangat menentukan penilaian akreditasi yang mencerminkan reputasi dan kualifikasi akademis dan manajemen program studi.

Lalu apa yang akan terjadi?

Karena semua dosen yang memiliki NIDN dan NIPN (sebagai jaminan kariernya) akan terdaftar dalam data base PDPT (Pusat Data Perguruan Tinggi), maka mereka tidak bisa diklaim di universitas lain, atau bahkan program studi lainnya dalam universitas yang sama. NIDN ini bisa dipindah, walaupun biasanya dihambat oleh kampus homebased-nya, kecuali jika si dosen memang tak diinginkan lagi. Jadi mungkin saja kelak akan muncul masalah hukum yang panjang,

Tambahan pula menurut peraturan baru itu, untuk mengurus NIDN, seseorang tak bisa lagi melakukannya bila sudah lewat usia 50 tahun (kecuali anda mempunyai kualifikasi/kompetensi khusus). Padahal, dulu banyak PNS yang baru mengambil program doktor menjelang pensiun dan menjadi dosen setelah pensiun (diatas 55 tahun).

Jadi anda harus berkarier sebagai dosen sedari muda, jangan tunggu kalau sudah bergelar doktor atau menjelang pensiun. Ingat, dosen itu ada jenjang jabatannya. Dan semua ada nilai ekonomi dan reputasinya.

Ini belum cukup. Dosen-dosen yang mengurus NIDN pun harus mempunyai kemampuan akademik (TKDA, Tes Kemampuan Dosen Akademik) dan bahan Inggris (TOEFL minimal 510, PBT). Bayangkan bila sudah uzur baru ikut ujian TOEFL, dijamin sulit lulus.

Lalu orang-orang yang mempunyai status sebagai pegawai BUMN, PNS pada kementerian /pemerintahan kota/ kabupaten, pegawai/anggota Polri/ TNI, anggota aktif parpol dan legislatif, konsultan hukum, pengacara, notaris dan apoteker pun tak bisa mendapatkan NIDN. Mereka harus fokus.

Ini berarti, akan terjadi market shrinking. Populasi pasar tenaga akademis yang bisa menjadi dosen tetap akan lebih tersaring, lebih selektif, mengerucut. Menjadi lebih muda,  berpendidikan,  tertata, kariernya lebih jelas, lebih fokus, dan jenjang akademisnya lebih dihargai. Dan tentu  harganya akan lebih mahal.

Kampus-kampus PTS yang ingin mengejar reputasi dan akreditasi yang  tinggi, tentu akan mengejar status dosen tetap. Memperebutkannya dari “pasar” tenaga akademik yang akan lebih terbatas. Itu pun mereka  memilih yang lebih melayani,  punya panggilan Tridharma perguruan tinggi yang kuat, dan disiplin.

Artinya, perpindahan dosen antar kampus, sekalipun akan dihambat, tak lagi dapat dihindarkan. Semua terpulang siapa yang bersedia memberi “tempat yang lebih layak”, lebih kompetitif, lebih manusiawi, lebih punya reputasi, dengan mahasiswa yang berkualitas, dan  memberi ruang bagi kebebasan mimbar akademik.

Dalam pengurusan NIDN pun, ada ketentuan bahwa dosen harus menunjukkan surat pengangkatan yang mencerminkan bahwa ia diberi imbalan yang layak (di atas KHM), jaminan hari tua dan kesehatan. Bahkan hak untuk mendapatkan promosi dan penghargaan, dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya, serta kebebasan berserikat dinyatakan dalam ketentuan itu.

Tantangan Bagi Rektor dan Konglomerat

Badan pengelola PTS (yayasan) tentu perlu berpikir lebih keras untuk menyediakan sumber sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen berkualitas. Demikian juga bagi PTNBH perlu bekerja lebih cerdas menggali dana-dana baru di luar BOP (Biaya Operasional Pendidikan) yang dibayar mahasiswa.

Kalau semua beban dialihkan pada peserta didik, maka universitas  akan kesulitan mendapatkan bibit –bibit unggul. Dan tentu saja akan bertentangan dengan semangat keadilan, dan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kalau tidak, dana-dana penelitian dan perawatan, fasilitas laboratorium dan kegiatan kemahasiswaan bisa terancam dialihkan. Ini tentu bukan pilihan tepat.

Kebijakan ini, di satu pihak, adalah baik bagi para akademisi dan dunia akademik, sekaligus bisa menumbuhkan budaya ilmiah. Dosen juga  akan jauh lebih dihargai. Tekanan ini sesungguhnya baik untuk melahirkan kehebatan baru bagi organisasi universitas. Namun di lain pihak ini juga menandakan era baru leadership perguruan tinggi yang lebih menantang.

Dan tentu saja, hal ini menjadi tantangan bagi para taipan dan konglomerat yang belakangan begitu bergairah membuka kampus dengan namanya sendiri. Bukankah lebih baik bekerjasama dengan PTN saja, dengan dana-dana CSR yang lebih “gres”. Di sana Anda pun dapat menaruh nama Anda pada berbagai event atau bahkan gedung seperti yang sudah dilakukan di berbagai kampus bereputasi tinggi di negara-negara maju.

Mengelola sendiri PTS, akan menjadi jauh lebih mahal, boros, dan belum tentu dapat mencapai visi-misi pribadi. Apalagi bila gagal menempatkan orang-orang yang tepat dalam yayasan. Inilah kasus yang tengah terjadi di banyak yayasan milik para taipan, yang maaf, organisasinya “dibajak” oleh orang-orang yang bukan pendidik. Coba deh periksa lagi.

Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selain itu, pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul "Self Driving": Merubah mental passengers menjadi drivers.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pajak Dividen: Tarif, Perhitungan, dan Contohnya

Pajak Dividen: Tarif, Perhitungan, dan Contohnya

Earn Smart
Jalan Tol Akses IKN Ditargetkan Beroperasi Fungsional Pada Agustus 2024

Jalan Tol Akses IKN Ditargetkan Beroperasi Fungsional Pada Agustus 2024

Whats New
Cara Menghitung Dividen Saham bagi Investor Pemula Anti-Bingung

Cara Menghitung Dividen Saham bagi Investor Pemula Anti-Bingung

Earn Smart
Sepanjang 2023, AirAsia Indonesia Kantongi Pendapatan Rp 6,62 Triliun

Sepanjang 2023, AirAsia Indonesia Kantongi Pendapatan Rp 6,62 Triliun

Whats New
Menyehatkan Pesawat di Indonesia dengan Skema 'Part Manufacturer Approval'

Menyehatkan Pesawat di Indonesia dengan Skema "Part Manufacturer Approval"

Whats New
Libur Panjang, Tiket Whoosh Bisa untuk Masuk Gratis dan Diskon 12 Wahana di Bandung

Libur Panjang, Tiket Whoosh Bisa untuk Masuk Gratis dan Diskon 12 Wahana di Bandung

Whats New
Memahami Dividen: Pengertian, Sistem Pembagian, Pajak, dan Hitungannya

Memahami Dividen: Pengertian, Sistem Pembagian, Pajak, dan Hitungannya

Earn Smart
Limbah Domestik Dikelola Jadi Kompos, Solusi Kurangi Sampah di Kutai Timur

Limbah Domestik Dikelola Jadi Kompos, Solusi Kurangi Sampah di Kutai Timur

Whats New
Harga Emas Terbaru 11 Mei 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 11 Mei 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Harga Emas Antam: Detail Harga Terbaru Pada Sabtu 11 Mei 2024

Harga Emas Antam: Detail Harga Terbaru Pada Sabtu 11 Mei 2024

Spend Smart
Harga Bahan Pokok Sabtu 11 Mei 2024, Semua Bahan Pokok Naik, Kecuali Daging Sapi Murni

Harga Bahan Pokok Sabtu 11 Mei 2024, Semua Bahan Pokok Naik, Kecuali Daging Sapi Murni

Whats New
Pembinaan Berkelanjutan Sampoerna Diapresiasi Stafsus Presiden dan Kemenkop UKM

Pembinaan Berkelanjutan Sampoerna Diapresiasi Stafsus Presiden dan Kemenkop UKM

Whats New
Sanksi Menanti Pejabat Kemenhub yang Viral Usai Ajak Youtuber Korea Mampir ke Hotel

Sanksi Menanti Pejabat Kemenhub yang Viral Usai Ajak Youtuber Korea Mampir ke Hotel

Whats New
[POPULER MONEY] Buntut Ajak Youtuber Korsel ke Hotel, Pejabat Kemenhub Dibebastugaskan | Intip Tawaran 250 Merek Waralaba di Pameran Franchise Kemayoran

[POPULER MONEY] Buntut Ajak Youtuber Korsel ke Hotel, Pejabat Kemenhub Dibebastugaskan | Intip Tawaran 250 Merek Waralaba di Pameran Franchise Kemayoran

Whats New
Cukupkah Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen?

Cukupkah Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen?

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com