Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memanfaatkan Potensi Besar Dana Abadi Universitas

Kompas.com - 13/10/2014, 13:08 WIB

                                        Prof Rhenald Kasali
                                          @Rhenald_Kasali

Hutan yang hilang di pedalaman Papua sudah lama menjadi perhatian para ilmuwan. Bahkan, itu pulalah yang melahirkan James Tobin sebagai penerima Nobel Memorial Prize in Economic Sciences pada tahun 1981. Teorinya sangat dikenal: Intergenerational Equity.

Lantas apa hubungannya antara Tobin, hutan di Papua dan dana abadi universitas?

Begini ceritanya. "Aku adalah tanah," kata masyarakat adat Papua. Itu sebabnya hutan dan tanah  dipertahankan sebagai hak ulayat, tidak bisa dijual. Apa daya, perlahan-lahan tanah itu dikapling investor dengan bantuan aparatur, kadang diwarnai kekerasan atau  korupsi.

Singkat cerita, hutan abadi, rumah dan pemberi kehidupan abadi itu lenyap perlahan-lahan digantikan kebun-kebun sawit. Bagi James Tobin, itu akan terjadi Intergenerational inequality: Kualitas hidup anak-anak kita akan timpang, lebih miskin dari kita. Kita korbankan masa depan demi hari ini.

Hutan yang hilang sulit dikembalikan, tetapi belajar dari hal itu, kampus-kampus besar dunia  sebagai pengawal masa depan bangsa bekerja keras menggalang dana abadi, agar para penerus  tidak kalah bagus dari generasi pendahulunya. Yang boleh diambil hanyalah hasil dari investasi dana abadi itu, bukan “hutan abadinya". Kampus tak boleh menjadi "pemalak" bagi bangsanya yang akan memimpin masa depan, melainkan harus menjadi ajang kontribusi, ajang perjuangan para pemimpin.  Inilah logika dasar universitas-universitas kelas dunia.

Endowment Fund Pendidikan

Tak banyak orang tahu bahwa 65 persen mahasiswa Harvard University menerima beasiswa rata-rata sebesar 46.000 dollar AS per tahun. Untuk keluarga miskin yang penghasilan keluarga (per tahun) di bawah 65.000 dollar AS bahkan dibebaskan uang kuliah. Kita semua tahunya Harvard University itu mahal. Anda harus menjual setidaknya 2 buah rumah untuk menyekolahkan anak di sana.

Tetapi selama saya menemani Prof. Michael Porter di kantornya yang dibikin spesial (karena ia dikenal dengan reputasinya), saya menemukan fakta-fakta lain. Mereka datang dari mancanegara dan diberi beasiswa besar-besaran.  Anda ingin tahu dari mana sumbernya?

Itulah hasil investasi dari dana abadi (Endowment Fund) yang besarnya 36,4 miliar dollar AS, atau setara Rp 440 triliun. Dana itu pulalah yang banyak mengalir ke berbagai sektor keuangan dan sektor riil di Indonesia, diinvestasikan dalam bentuk proyek-proyek infrastruktur dan energi, yang hasil keuntungannya dijadikan dana pengembangan Harvard University.

Tahun lalu, sewaktu diundang Yale University, saya sempat bertanya cara mengembangkan dana abadi. Dari situ saya mengerti bahwa selain kemampuan akademik diperlukan entrepreneurship dan governance yang kuat. Kita butuh profesional bereputasi tinggi untuk mengelola dana ini.

Dengan itulah Yale berhasil mendapatkan dana abadi sebesar 16 miliar dollar AS atau setara Rp 192 triliun. Dari dana itu pulalah mereka bisa mengembangkan Global Network for Advanced Management, di mana MM Universitas Indonesia yang dulu saya pimpin menjadi salah satu jejaringnya. Bahkan hingga saat ini mahasiswa Yale sering datang ke UI dan kami mengirim pimpinan program dan dosen bergantian ke sana. Bahkan beberapa orang bisa melanjutkan studi di Yale dengan beasiswa.

Ambil Hasil Investasinya Saja

Namanya saja dana abadi. Ini sama seperti hutan bagi suku-suku pedalaman di tanah air, yang akan punah kalau hutannya hilang. Mata air dan kedamaian akan lenyap, digantikan keserakahan, kompetisi dan konflik.

Maka itulah universitas-universitas terkenal dibangun dengan kesadaran dana abadi. Sumbernya bukan dari sumbangan mahasiswa, melainkan dana-dana yang dicari melalui kerja keras  University President bersama-sama dengan civitas academica-nya (terutama alumni dan sahabat-sahabat Universitas). Justru dengan dana abadi itulah, mahasiswa-mahasiswa dapat belajar dengan baik, beraktifitas dengan riang gembira, lalu reputasi kampus pun akan menjadi besar.

Dana itu pulalah yang selalu ditanyakan para asessor internasional saat mengurus akreditasi internasional. Dan dengan sedih saya harus katakan, dana abadi, bahkan dana-dana kontribusi masyarakat di sini masih terlalu kecil. Pada tahun 2012, di UI saja, menurut sebuah laporan, hanya 4 persen dari seluruh anggaran. Kampus Indonesia masih terperangkap dengan keasiykan dana mudah, dari sumbangan uang kuliah mahasiswa.

Padahal dengan dana-dana itu, kita bisa mendatangkan profesor-profesor kelas dunia mengajar di Universitas kita. Tawaran seperti itu pernah saya terima untuk menjadi profesor "Change Management" di kampus mereka. Namun karena satu dan lain hal, saya memutuskan untuk tidak menerimanya, karena jumlah guru besar bidang yang saya tekuni hanya sedikit.

Hasil investasi dana abadi itulah yang dipakai kampus-kampus kelas dunia mengembangkan riset-riset fenomenal, perpustakaan berteknologi tinggi, mengembangkan pelayanan, fasilitas-fasilitas pendidikan, termasuk hotel dan dormitory (asrama mahasiswa) yang dilengkapi wifi gratis, bahkan yakuzi. Lalu kepada mahasiswa-mahasiswa yang hebat tidak hanya diberikan uang kuliah, melainkan juga biaya hidup.

Di sisi lain, dengan mengandalkan APBN dan uang kuliah sumbangan mahasiswa, kita belum bisa melihat realita dari harapan itu di berbagai universitas negeri di Tanah Air. Asrama-asrama mahasiswa kita terkesan kumuh, bahkan di jendela-jendela pun sering kita lihat, maaf pakaian dalam, yang dijemur seadanya.

Kamar mandi yang airnya keruh, dan listriknya sering tak menyala, riset yang sekedar ada, jurnal akademik kualitas lokal. Padahal di situlah tinggal anak-anak petani, nelayan, PNS atau anak rakyat jelata yang kelak akan menggantikan Jokowi atau pemimpin-pemimpin besar Indonesia. Itu hanya bisa dicapai kalau dananya cukup, sebab kita perlu mengajak mereka menjadi calon pemimpin yang visioner, adaptif dan berwawasan kebangsaan.

University Fundraising Center

Gagasan inilah yang sempat saya tuangkan dalam paper pendek di UI untuk mendorong lahirnya endowment fund yang dikelola universitas secara profesional.

Sudah saatnya kampus-kampus besar Indonesia dikelola secara visioner. Alumni-alumni dan pemimpin-pemimpinnya perlu meminjamkan lebih banyak lagi reputasinya agar semakin banyak anak-anak bangsa yang cerdas bisa sekolah di kampus-kampus besar. Ini merupakan modal awal bagi kita untuk mengurangi gap kaya-miskin, memperbaiki koefisien gini, dan memenangkan Indonesia di dunia dengan ilmuwan-ilmuwan masa depan yang cemerlang.

Kalau hari ini kita masih mengenal  filsuf-filsuf besar seperti Aristoteles, Plato dan Socrates, maka saya perlu ingatkan Anda, itu semua berkat dana abadi pertama yang diperkenalkan Marcus Aurelius di Atena (176 AD) untuk mendukung sekolah-sekolah filsafat.

Lalu, pada tahun 1502, nenek  Henry VIII, Lady Margaret Beaufort, mengembangkan metode ini untuk mengangkat reputasi Universitas Oxford dan Cambridge.

Kita tahu, kedua kampus besar itulah yang kini menempati posisi terhormat rangking dunia bersama Harvard dan Yale.  Setelah itu tradisi serupa diikuti oleh Sir Isaac Newton (Lucasian Chair of Mathematics, 1669) bahkan juga Stephen Hawking.

Kampus-kampus Indonesia perlu mengembangkan University Fundraising Center dengan target yang tak kecil. Dan sumbernya, sekali lagi tidak boleh diambil dari uang kuliah mahasiswa atau APBN. Saya kira iniah ruang yang diberikan  UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU  tentang Keuangan Negara yang memberikan status PTN BH pada beberapa perguruan tinggi ternama. Artinya, di sana ada banyak keleluasaan mengembangkan dan mengelola dana-dana abadi.

Lantas seperti apa konsepnya?

Pertama, lembaga ini harus dikelola oleh tenaga-tenaga profesioanal, dengan tata kelola yang menjamin transparansi dan akuntabilitas. Kedua, aturannya harus dibuat jelas. Harus dipisahkan antara pemberi target dengan pelakasana dan pengawasnya.

Kedua, dana abadi dikepung bersama alumnus pada level fakultas dan universitas dengan sahabat-sahabat universitas. Semua kebutuhan dipetakan, dipastikan secara garis besar berapa sasaran yang akan dicapai. Kalau Harvard sudah memilki Rp.440 Trilyun, jelas kampus-kampus Indonesia tidak akan bisa menjadi kelas dunia kalau hanya bisa mengumpulkan satu-dua trilyun rupiah saja.

Ketiga, dana-dana itu dipakai untuk membiayai beasiswa seperti diamanatkan statuta (20 persen untuk mahasiswa berprestasi kalangan kurang mampu dan 20 persen lagi yang benar-benar kurang mampu).  Keempat, pokok dari dana itu hanya akan dipakai 4 – 5% saja, sambil terus dicairkan dana-dana abadi yang baru. Para pengusaha dan CEO bisa memberikan dalam bentuk property maupun dana abadi yang diserahkan sepenuhnya, atau dibatasi untuk berapa lama.

Kelima, para pemberi dana abadi perlu diberikan imbalan. Apakah berupa penamaan (seperti seperti misalnya pada tahun 2004 Guru Besar  Wharton, Dr. Andreas Buja mendapatkan nama baru: Liem Sioe Liong/ First Pasific Company Professor of Statistics, atau Nippon Life Professor of Finance, Dr. Allen Franklin). Atau imbalan lain berupa akses terhadap riset, dan cara -cara kreatif lain yang terhormat.  Penamaan harus didasarkan sebuah aturan yang jelas dengan pertimbangan-pertimbangan yang masak.

Tentu, masih banyak sumber-sumber dana lain yang bisa didapatkan melalui crowdfunding, kegiatan-kegiatan sponsorship, dan sebagainya. Tetapi yang jelas universitas perlu membuka mata tentang potensi besar yang tersedia di balik aturan-aturan baru PTN-BH dan pertumbuhan ekonomi Asia.

Indonesia bukan lagi negara miskin, kita anggota G-20 dengan makin banyak filantropi dan perusahaan besar yang beruntung.  Adalah ironi, masih banyak anak-anak pandai yang tak bisa kuliah di kampus bereputasi tinggi.

Kita perlu membuka mata, bahwa menargetkan diri menjadi World Class University mengundang konsekwensi perlunya dana-dana besar masuk ke dalam kampus. Ranking kelas dunia hanya bisa dicapai kalau kampus-kampus kita pandai menjaring dana-dana abadi, pandai mengelolanya, transparan, pandai melakukan investasi, dan mendatangkan pengajar-pengajar hebat seperti juga mahasiswa-mahasiswanya.

Dana abadi adalah “the guardians of the future againts the claims of the present. It is to preserve equity among generations" (James Tobin).

Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selain itu, pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Saat ini, dia juga maju sebagai kandidat Rektor Universitas Indonesia. Terakhir, buku yang ditulis berjudul "Self Driving": Merubah mental passengers menjadi drivers.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Work Smart
Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Peringati Hari Buruh, SP PLN Soroti soal Keselamatan Kerja hingga Transisi Energi

Whats New
Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Cara Pasang Listrik Baru melalui PLN Mobile

Work Smart
Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Whats New
Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Whats New
Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Whats New
Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Whats New
Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Whats New
Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Whats New
Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Whats New
Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Whats New
Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Whats New
MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

Whats New
Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong sebagai Presdir Baru

Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong sebagai Presdir Baru

Whats New
Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com