Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalau Semua Diambil BUMN, Swasta Dapat Apa?

Kompas.com - 25/02/2015, 09:00 WIB

Max Buge dkk (2013) menunjukan, 10 persen dari 2.000 perusahaan kelas dunia versi majalah Forbes adalah BUMN. Total sales 204 BUMN dari 37 negara ini pada tahun 2011 mencapai 3,6 triliun dollar AS atau setara dengan GDP Jerman.

Lima negara yang teratas yang peran BUMNnya penting menurut studi Buge itu adalah China, UEA, Rusia, Indonesia dan Malaysia.

Pertanyaan selanjutnya adalah perubahan apa yang telah terjadi, bagaimana swasta mengambil peran dan apa yang membuat mereka mampu berkontribusi bagi perekonomian? Apa yang membedakan negara-negara yang kaya karena BUMN dan apa yang membuat BUMN sulit berkembang? Berikut inilah ulasannya.

BUMN Sapi Kurus

Sejak republik ini didirikan, swasta dan BUMN sama-sama dikembangkan. Berawal dari perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, BUMN itu terus dikelola negara. Kalau ketemu eksekutif yang handal  BUMN pun berevolusi menjadi perusahaan hebat.

Demikian juga sebaliknya. Tak banyak orang yang tahu bahwa gas alam yang dipakai sebagai LNG dan LPG di dunia dewasa ini juga berawal dari BUMN Indonesia: Pertamina di era Ibnu Soetowo.

Kompas.com Pertamina


Bahkan saat pembangunan PT Krakatau Steel terbengkalai, ia pun diselamatkan oleh uang dari Pertamina. Selanjutnya, Wijaya Karya yang dulu merupakan perusahaan instalator listrik ex Belanda berevolusi menjadi perusahaan konstruksi, menjadi EPC dan perusahaan investasi dan mendapatkan kepercayaan di luar negri.

Bahkan, kumpulan perusahaan dan pabrikan milik konglomerat besar Asia Oei Thiong Ham (raja gula dari Semarang) pun beralih menjadi Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).  Sayang juga kalau RNI belakangan ini banyak diganggu oleh para pemburu rente  (mafia gula).

Kisah BUMN Indonesia sesungguhnya sarat dengan sejuta cerita, baik itu heroisme, inovasi, maupun sisi negatifnya (korupsi, penipuan, pemerasan, dll).

Tetapi baiklah. Presiden Soekarno pun tak rela menyerahkan seluruh kekuatan ekonomi pada BUMN. Mendiang Soekarno pun mencetak lahirnya pengusaha-pengusaha swasta pribumi dari berbagai nusantara yang dikenal dengan pengusaha benteng. Dasaat, Hasyim Ning, Bakrie dan sebagainya lahir dari semangat itu.

Tapi waktu berjalan, konsep pengembangan BUMN mengalami pasang surut. Di Era Orde Baru, pemerintah mencoba memperbesar peran swasta dan negara, sementara BUMN-nya dibiarkan dikelola orang-orang dekat presiden. Mantan ajudan, pejabat dan tentara diberi jabatan sebagai dirut. Politik "kedamaian" dan balas budi di era itu membuat banyak BUMN terpuruk.

Bisa dibayangkan bagaimana kondisi BUMN saat itu.

Begitu Pertamina didera isu korupsi, ia pun dijadikan mesin birokrasi dan uangnya langsung dikelola oleh negara. Garuda Indonesia yang dulu dikagumi di dunia harus diperkecil karena salah urus. Kereta Api menjadi kumuh, listrik tidak berkembang dan seterusnya.

Sejak krisis Pertamina (1974), wajah BUMN tak ubahnya menjadi kepanjangan tangan negara. Pegawai-pegawainya adalah pendukung Golkar, evaluasi kinerja karyawan dilakukan masih seperti PNS, menggunakan lembar DP3. Dan kalau BUMN untung, maka keuntungannya ditarik masuk ke dalam kas negara. Tak ada retained earnings yang memadai untuk meremajakan diri atau melakukan penelitian dan pengembangan (R&D).

Jadi bagaimana mau tumbuh?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com