Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPATK Keberatan Koruptor Diberi Pengampunan Pajak

Kompas.com - 04/06/2015, 08:46 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com -
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tahun ini berencana menerapkan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada warga negara Indonesia yang menyimpan dananya di bank di luar negeri. Kebijakan ini juga berlaku bagi para koruptor.

Dari kebijakan ini, pemerintah bisa menerima uang tebusan sekitar 10 persen-15 persen dari dana yang dibawa masuk ke Indonesia. Syaratnya dana tersebut harus diinvestasikan dalam bentuk penanaman modal langsung (foreign direct investment).

Meski diklaim telah mendapat dukungan dari DPR, namun kebijakan ini masih kontroversial. Lembaga negara selama ini gencar memberantas korupsi dan pencucian uang menolak rencana ini. Antara lain Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Menurut Wakil Kepala PPATK Agus Santoso, kebijakan ini tidak tepat dilakukan oleh pemerintah Indonesia, meskipun dahulu pernah ada kebijakan serupa. Sejak reformasi, Indonesia telah menyatakan menolak uang panas dari hasil kejahatan luar biasa, yakni narkoba, terorisme dan uang hasil korupsi.

Berikut penuturan lengkap Agus Santoso kepada Kontan, Selasa (2/6/2015) melalui sambungan telepon.

Indonesia memang pernah memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) pada tahun 1964 dan tahun 1984. Tapi suasana saat ini sudah berbeda dengan dulu. Dulu belum ada PPATK dan KPK. Setelah reformasi, kita sudah sepakat memerangi dan menolak dana panas atau illegal money yang didapat dari kejahatan korupsi, narkoba dan terorisme. Berdirinya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU merupakan suatu konsesus bahwa Indonesia menolak illegal money seperti negara modern lainnya.

Korupsi, narkoba, dan terorisme adalah tiga jenis kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pelaku narkoba sudah kita saksikan ditembak mati. Pelaku terorisme juga sama. Namun kini kepada pelaku korupsi kita ingin memberi pengampunan melalui tax amnesty untuk membiayai anggaran pemerintah.

Untuk menarik dana hasil korupsi sebenarnya tidak mudah. Dana-dana itu tentu sudah berubah menjadi modal perusahaan di luar negeri. Telah menjadi properti, telah menjadi pabrik, dan lain sebagainya. Apakah masih ada uang fresh money? Ini pertanyaan pertama.

Masalah lainnya, sistem devisa yang berlaku di Indonesia saat ini ialah sistem devisa bebas. Lalu lintas dana atau uang dari luar negeri ke Indonesia sekarang ini bebas. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak bisa melakukan hold. Sekarang masuk, beberapa menit kemudian bisa pergi lagi.

Dengan sistem devisa seperti sekarang, uang warga negara Indonesia yang ada di Singapura, di Hongkong, sering masuk ke Indonesia. Saya tahu itu, siapa saja pemiliknya. Bukan koruptor di masa lalu, tapi di masa sesudah reformasi. Siapa saja di belakang dana-dana itu. Dananya dikelola oleh Manajer Investasi untuk membeli saham di Indonesia melalui sekuritas di Indonesia.

Mereka masuk ke pasar modal, lalu keluar lagi. Mereka hanya mencari capital gain. Yang untung hanya MI di luar dan sekuritas di Indonesia. Kecuali harga sahamnya benar-benar, mereka akan terjebak dan rugi.

Dana-dana illegal money saat ini tidak semua hasil korupsi di era sebelum reformasi seperti dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di era sesudah reformasi ini juga besar. Bayangkan saja, 60 persen dari kepala daerah yang ada sekarang melakukan korupsi, itu berapa nilainya.

Sejak reformasi kita sepakat untuk menolak illegal money, Indonesia menghidupkan unit intelejen untuk menangkap para koruptor dan mencegah mereka.

Sudah tiga tahun terakhir sudah tim pemburu koruptor aktif mengejar aset-aset di luar negeri. Dua minggu, tim ini bertemu pemerintah Swiss dipimpin oleh pejabat kejaksaan agung. Tim ini telah sering bertemu dengan interpol dari Swiss, Hongkong, Singapura, Australia, Inggris, untuk mengejar aset yang dinilai ilegal.

Di bidang pajak, ada satgas penghindaran pajak. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan, yang saya catata telah menyelamatkan dana senilai Rp 2 triliun. Hingga ini satgas ini masih berjalan, masih sering rapat untuk mengusut kasus penghindaran pajak.

Alasan lain mengapa tax amnesty tidak tepat adalah rasio pajak Indonesia masih rendah, sekitar 11 persen-12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan di negara lain sekitar 26 persen hingga 30 persen.

Artinya di dalam negeri, pemerintah perlu membangun integritas agar rasio pajak tinggi seperti di negara lain. Selain itu, rasio pajak yang rendah ini mencerminkan kepatuhan pajak memang masih rendah.

Kita akan malu dengan negara-negara yang selama ini kita temui untuk mengejar harta koruptor. Mau ditaruh dimana muka kita. Ternyata pemerintahnya sekarang mengampuni mereka yang kita kejar karena pemerintahnya membutuhkan dana untuk pembangunan.

Sampai saat ini Kementerian Keuangan atau pun Direktorat Jenderal Pajak belum membicarakan rencana pengampunan pajak bagi koruptor ini dengan kami di PPATK.

Sebagai negara modern yang terikat dengan perjanjian antar negera, negara-negara yang menjadi surga pencucian uang seperti Singapura dan Hongkong dan lain-lain selama ini masih mau bekerjasama. Singapura misalnya mau bekerjasama karena sebagai tetangga.

Umumnya mereka juga tidak mau menyimpan dana yang sudah dikategorikan red notice oleh interpol. Australia pernah meminta imbalan atas dana yang akan dikembalikan sebesar 25  persen, namun kita tawar jadi 18 persen.

Sedangkan PNG, saat ini masih dalam proses untuk mengejar dana Djoko S Tjandra. Kini Djoko S Tjandra ingin menjadi warga negara PNG, tapi kita keberatan. Ini hanya contoh bagaimana tim ini bekerja dan negara lain mau bekerjasama.

Selain itu, masih banyak cara lain yang bisa ditempuh. Cara ini mesti dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Pertama, membangun infrastruktur hukum yang jelas. Harus ada kepastian hukum bagi para pebisnis. Kedua, memiliki kebijakan yang stabil. Ketiga, memiliki stabilitas politik. Ini semua akan memunculkan harapan bagi investor karena Indonesia dinilai ramah kepada investasi.

Di samping itu sumber-sumber penerimaan di dalam negeri juga belum tergali. Misalnya pajak terhadap laba BUMN dan perusahaan swasta dan pajak atas pengelolaan devisa di dalam negeri.

Lebih dari itu semua, kebijakan pengampunan pajak ini ditakutkan menimbulkan moral hazard. Orang akan berpikir, sekarang boleh melakukan korupsi, toh nanti akan diampuni asalkan membawa dananya balik. Ini akan menjadi preseden buruk bagi pengusaha maupun masyarakat secara umum. Apalagi saat ini Indonesia masuk dalam 10 besar negara yang menjadi tempat bagi uang-uang ilegal beralih rupa.

Sebuah negara dengan uang-uang ilegal yang besar itu menghancurkan ekonomi. Misalnya seorang pengusaha beneran membangun hotel. Dia meminjam dari bank dengan bunga sekian persen sesuai pasar. Tentu saja tarif hotelnya akan disesuaikan agar bisa mengembalikan modal dari bank.

Katakanlah tarifnya menjadi Rp 700.000 hingga Rp 1 juta per malam. Tapi di sebelah hotel itu, ada hotel lain yang dibangun dengan dana hasil kejahatan. Hotel itu hanya sebuah tempat pencucian uang, sehingga dia akan menentukan tarif seenaknya.

Tentu saja hotel milik pengusaha beneran akan kalah dan mati karena tidak bisa berkompetisi. Praktik seperti ini bisa terjadi di negara-negara yang masuk dalam jajaran 10 besar negara dengan dana illegal yang besar, termasuk Indonesia.

Uang panas hasil kejahatan akan mencari instrumen apa saja yang tersedia dan bisa dimasuki. Properti, tanah, emas, asuransi dan sebagainya. Semua dimasuki sehingga terjadi buble, harganya melambung di atas kewajaran. Ini pun sudah terjadi di Indonesia karena pemberantasan korupsi di Indonesia akhir-akhir ini sangat lamban. (Umar Idris)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com