Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/08/2015, 15:01 WIB

Ketiga, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Jika devaluasi yuan mampu memulihkan ekonomi RRT, Indonesia akan merasakan manfaatnya. Harga komoditas akan mulai naik, ekspor Indonesia naik, dan seterusnya. Namun, jika yang terjadi justru RRT menjadi sumber keguncangan ekonomi global, seperti yang ditulis Soedradjad Djiwandono dari Rajaratnam School, Singapura, dalam tulisannya di harian ini (Kompas, 26/8/2015), ekspor Indonesia tidak akan terbantu. Selain itu, devaluasi yuan akan membuat harga barang impor ke RRT menjadi mahal dan akan menurunkan permintaan impornya, termasuk dari Indonesia. Oleh karena itu, terlalu dini untuk menyimpulkan. Kita harus melihat efek bersihnya (net effect). Jika dampak positif pertumbuhan ekonomi Tiongkok lebih besar dibandingkan dampak negatif penurunan permintaan terhadap ekspor Indonesia, maka ekspor Indonesia akan diuntungkan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, ekspor kita tak akan terbantu.

Keempat, apakah devaluasi yuan akan memicu perang kurs? Sampai saat ini tidak. Mengapa? Karena dalam jangka panjang kebijakan ini bukanlah solusi yang tepat bagi RRT. Devaluasi dalam jangka panjang akan mendorong inflasi yang berasal dari impor (imported inflation) dan akan mendorong arus modal keluar dari RRT. Karena itu, kebijakan ini mungkin hanya sementara.

Dari segi ini tak perlu adanya kekhawatiran yang berlebihan. Namun, jika RRT terus melakukan langkah ini—karena dianggap belum cukup untuk mendorong ekspornya—maka negara lain bisa mengambil posisi untuk melakukan hal yang sama. Sejarah mengajarkan kepada kita, salah satu yang membuat perekonomian global ambruk dalam depresi besar tahun 1930 adalah beggar thy neighbor policy, di mana tiap negara membuat nilai tukar mata uangnya lemah.

Perkuat ekonomi domestik

Empat hal di atas akan menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan dalam beberapa waktu ke depan. Di sinilah letak soalnya. Di dalam ilmu ekonomi, salah satu variabel yang tak bisa sepenuhnya di kendalikan adalah ekspektasi yang tidak rasional.

John Maynard Keynes, ekonom terbesar abad ke-20, menyebutnya animal spirits. Intinya, pelaku ekonomi tak hanya bergerak karena didorong oleh motif ekonomi dan perilaku rasional, tetapi juga perilaku tak rasional, seperti animal spirits. Dalam situasi yang tak pasti, individu dalam sebuah kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya (herd behavior). Tindakan ini dilakukan bersama-sama, tetapi tanpa koordinasi.

Kita bisa melihat pola ini di pasar keuangan. Dalam situasi panik—seperti Black Monday—ketika sebuah produk keuangan mulai dilepas dan harga jatuh, berduyun-duyun orang akan menjual produk tersebut, dan itu sering tanpa sepenuhnya memiliki bekal informasi lengkap. Karena itu, semakin lama ketidakpastian terjadi, dan semakin lama kenaikan bunga The Fed ditunda, maka semakin tinggi gejolak di pasar keuangan akibat ekspektasi yang menggantung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com