Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/08/2015, 15:01 WIB

Artinya, tekanan terhadap nilai tukar di emerging economies akan bisa menjadi lebih panjang. Di sisi lain, jatuhnya harga komoditas telah membuat pertumbuhan ekonomi di banyak negara—termasuk Indonesia—melambat. Dani Rodrik dari Harvard Kennedy School dalam sebuah diskusi mengingatkan saya bahwa emerging market hanya bisa tumbuh secara berkelanjutan jika tiga hal dipenuhi, yakni perbaikan kualitas modal manusia, perbaikan institusi dengan tata kelola pemerintahan, dan peningkatan produktivitas melalui industrialisasi.

Saya sepakat sepenuhnya dengan Rodrik, tetapi dalam jangka pendek ada hal yang harus segera dilakukan. Karena situasi eksternal tak pasti, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia harus berasal dari domestik. Dalam situasi ekonomi melemah, yang harus dilakukan adalah kontrasiklus (countercyclical). Kontrasiklus seperti apa? Bagaimana waktu dan prioritasnya?

Langkah pemerintah mendorong APBN sudah tepat. Namun, perlu diingat peran dari APBN relatif terbatas. APBN hanya bisa menjadi pemicu untuk mengembalikan kepercayaan dan harus diikuti oleh investasi swasta. Oleh karena itu, dalam menggerakkan APBN, kita harus tahu jenis belanja apa yang dibutuhkan? Bagaimana prioritas waktunya? Kita jelas sangat membutuhkan infrastruktur. Persoalannya, dalam enam bulan sampai satu tahun pertama, pembangunan infrastruktur mungkin akan fokus pada pengurusan izin, pembebasan lahan, atau persiapan proyek. Artinya, ia belum menciptakan daya beli dan lapangan kerja. Padahal, kita ingin agar permintaan naik, agar swasta melakukan investasi.

Oleh karena itu, dalam jangka sangat pendek, belanja pemerintah harus mampu mendorong daya beli melalui konsumsi rumah tangga sesegera mungkin. Apakah itu? Berikan stimulus fiskal kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi (marginal propensity to consume/MPC) yang tinggi. Mereka adalah kelompok menengah-bawah, bukan kelompok atas. Mengapa? Kelompok menengah-bawah memiliki MPC yang relatif lebih tinggi.

Jika kelas menengah-bawah memperoleh penghasilan, konsumsi dalam negeri dapat didorong. Caranya? Perpanjang dan perluas program, seperti transfer tunai atau cash for work dengan proyek padat karya, misalnya pembangunan jalan desa dan sebagainya. Nilai proyeknya tak terlalu besar, tak akan mengganggu defisit transaksi berjalan, tak akan mengganggu defisit anggaran, tetapi efek bergulirnya besar.

Apa lagi? Mungkin pemerintah bisa membuat kebijakan, di mana jika perusahaan tak melakukan PHK, mereka dapat memperoleh insentif pajak. Dengan kebijakan ini, orang tetap bekerja dan daya beli terjaga. Kebijakan ini kita kenal dengan keep buying strategy. Lalu kombinasikan ini dengan belanja infrastruktur prioritas.

Apa lagi? Jaga inflasi. Dan, saya kira, yang paling penting adalah mengelola ekspektasi. Jangan membuat sinyal yang membingungkan karena sinyal yang salah akan mendorong animal spirits ke arah yang negatif.

*Muhamad Chatib Basri, Senior Fellow Harvard Kennedy School
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "”Senin Hitam” dan Indonesia".

baca juga: Mantan Menkeu Ungkap Kesalahan Fatal Jokowi-JK yang Buat Ekonomi Terpuruk

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com