Muhammad Misbakhun, Anggota Badan Legislasi (Baleg) sekaligus Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan, kewajiban repatriasi tidak ada di dalam draf RUU yang telah direvisi.
"(harta) Hanya dicatatkan saja, tidak musti ditarik (ke Indonesia)," ujarnya kepada Kontan, Kamis (4/12/2015).
Sayang, ia tidak menjelaskan lebih lanjut alasan mengapa hal itu tidak diakomodasi dalam RUU yang konon berisi 22 pasal itu.
Ken Dwijugiasteadi, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak bilang, yang terpenting adalah melaporkan semua harta yang disimpan di luar negeri.
"Kalau soal ditaruh di mana, mau disimpan di bank sini atau bank sana (luar negeri), sama saja, nanti tergantung UU nya dulu deh," tuturnya.
Sejatinya, selain dilaporkan, harta para pengemplang pajak ini juga harus disimpan di sistem keuangan dalam negeri. Hal ini guna memberi dampak positif bagi perekonomian.
Yustinus Prastowo, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) berpendapat, jika tidak ada kewajiban itu, maka kebijakan pengampunan pajak ini tidak menjamin akan memberi manfaat bagi perekonomian nasional.
Awalnya, semangat RUU ini adalah selain meningkatkan penerimaan dan memperluas basis pajak, juga menarik dana dari para pengemplang agar bisa diputar di sistem perekonomian domestik.
Estimasi dana yang parkir di Singapura milik pengusaha Indonesia sekitar Rp 2.000 triliun.
Memang, jika dengan kebjiakan ini diharuskan ada reaptriasi, maka pemerintah harus menyiapkan instrumen yang bisa menampung dana tersebut.
Bisa dalam bentuk obligasi yang memang disiapkan untuk dana repatriasi ini dengan bunga yang rendah.
Bisa juga ditawarkan untuk diinvestasikan di sektor infrastruktur dengan imbalan tertentu. Jadi, harus ada ketentuan pastinya.
Jika disimpan di perbankan, Yustinus memperkirakan, bank akan kesulitan untuk menanggung beban bunga yang ditanggung.
"Jalan tengah, mungkin bisa diatur dana yang dipulangkan itu 25 persen dari total harta yang disimpan di luar negeri," jelasnya.