Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Murniati Mukhlisin
Praktisi Ekonomi Syariah

Pakar Ekonomi dan Bisnis Digital Syariah/Pendiri Sakinah Finance dan Sobat Syariah/Dosen Institut Tazkia

Bumikan Bahasa Fatwa Keuangan Syariah

Kompas.com - 04/03/2016, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kita dapat meniru praktik keuangan Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul atau di awal pertemuannya dengan Khadijah binti Khuwailid dimana Khadijah berperan sebagai pemilik modal (rabbul maal) dan Nabi Muhammad menjadi pengusahanya (mudarib).

Dengan kesepakatan bagi hasil yang diuangkapkan di awal, transaksi sejenis ini dikenal sekarang dengan akad kerjasama (mudharabah). Sumber: Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager.

Kemudian setelah menjadi suami Khadijah, posisi Nabi Muhammad naik menjadi pemilik bisnis dan mitra bisnis dengan orang lain. Kemudian hubungan antar bisnis ini dikenal dengan kemitraan (musyarakah) dimana dua orang atau lebih adalah pemilik modal dan sama-sama menjalankan usahanya.

Dalam kehidupan kita sekarang, kisah perkongsian Rasulullah SAW dengan istri terkasihnya dan para pebisnis lainnya bisa digambarkan dengan kemitraan usaha antara pihak pemodal individu dengan pengusaha mikro misalnya.

Kegiatan modal ventura atau bahkan crowd funding yang sedang marak, bisa menjadi contoh bagaimana kemitraan dalam berbisnis sangat mudah dipraktikan dan dalam skala apapun yang kita sanggup.   

Ada juga transaksi yang dilakukan melibatkan tenggang waktu tertentu untuk pembayaran, misalnya secara cicilan dengan skim jual beli tangguh berupa barang (murabahah) atau jual beli dengan sistem pesanan barang (salam dan istisna), dimana pembeli membayar dimuka dan menerima barang di kemudian hari.

Transaksi jenis ini sudah lazim kita jumpai, dan oleh karenanya harus bisa dipahami oleh masyarakat semua peraturan dan konsekuensinya.

Ketika digambarkan realita ekonomi modern dan kesesuaian dengan transaksi bisnis syariah, maka ilmu untuk melek syariah ini penting. Hal ini seolah mengamini apa yang disampaikan oleh Umar bin Khattab r.a. bahwa tidak boleh seseorang itu berjualan atau masuk pasar melainkan paham atau melek hukum bisnis karena dikwatirkan akan memakan riba dengan sengaja atau tidak.

Ali bin Abi Thalib r.a. juga berpendapat yang sama bahwa siapa yang berbisnis sebelum melek ilmu bisnis secara syariah (tafaqqah) maka dia mungkin akan terjatuh dalam riba dan bentuk kedhaliman yang lain. Sumber: Mawsuah Fiqhiyyah Kuwaytiyyah Bab Riba.

Ada juga kisah dimana salah satu pelaku bisnis menjadi wakil untuk mendapatkan barang dan jasa yang kemudian mendapatkan upah dimana sekarang dikenal dalam industri keuangan dengan fee-based product dari agency, perwakilan atau wakalah. Lagi – lagi, praktik bisnis ini dapat dilakukan di dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

Ahlak dan misi ibadah dalam berbisnis

Ahlak termasuk hal penting ditanamkan oleh Rasullullah SAW dalam berbinis. Misalnya ketika beliau menegur penjual yang curang (mencampurkan gandum buruk di bawah gandum baik). Kecurangan yang juga ditegaskan oleh Umar bin Khattab r.a. yang menegur praktik monopoli dan campuran air dengan susu (Sumber: Kitab Bidayah Wan Nihayah), merupakan kisah yang mudah kita jumpai dalam kondisi ekonomi pasar sekarang ini.

Peran pemerintah atau regulator sangat penting dalam menjaga stabilitas harga dan standar kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang diperjual-belikan sesuai dengan yang diharapkan. 

Kita juga bisa lihat Abubakar Siddik r.a. yang tidak mau berteduh di bayang-bayang rumahnya sendiri dikarenakan rumah tersebut sudah disewakan kepada orang lain.

Sikap berhati-hati untuk tidak memakan barang haram atau tidak jelas halal-haramnya (syubhat) seperti ini dapat menjadi tauladan bagi kita ketika bertransaksi sewa menyewa (ijarah).

Pesan Rasulullah SAW mengenai ahlak dalam berbisnis berikut dapat menjadi renungan kita pada hari ini: “Allah memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat pernyataan” (HR Shahih Bukhari No. 2076).

Kita juga harus ingat bahwa kehidupan berbisnis harus senantiasa diiringi dengan misi sosial dengan tujuan mengharap ridho Allah SWT.

Ustman bin Affan r.a. khalifah yang terkenal sebagai saudagar ini pernah dengan tegas menolak orang yang akan membeli barang dagangannya walaupun dengan harga tinggi hanya karena beliau ingin menyumbangkan semua barang dagangannya untuk penduduk fakir miskin Madinah yang waktu itu sedang dilanda musim paceklik (Sumber: Kitab Bidayah Wan Nihayah).

Terakhir, semua transaksi yang disebutkan di atas harus tunduk dengan enam kriteria yang sering dibahas di artikel Sakinah Finance sebelumnya, yaitu kita jauhi sifat yang enam (riba, gharar, maysir, haram, zalim, dharar).

Kesimpulannya, menjalankan keuangan syariah itu mudah dan contoh–contoh “bahasa fatwa” di atas dapat dipraktikkan di lingkungan keluarga sendiri, tidak perlu baru belajar ketika berhadapan dengan bank syariah.

Syaratnya, harus ada proses penambahan dan transfer ilmu yang disesuaikan dengan keadaan dan usia para anggota keluarga serta dimulai dari niat baik dan suri tauladan. Wallahu a'lam bis-shawaab.

Salam Sakinah dari Kota Mekkah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com