Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi, SBY, dan Infrastruktur

Kompas.com - 22/03/2016, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Namun, keseriusan Jokowi tampaknya bakal mendapatkan  hambatan lagi.

Pendapatan negara dari pajak dan PNBP lagi-lagi tidak sesuai harapan.

Berdasarkan data kementerian Keuangan, penerimaan pajak dalam dua bulan pertama (Januari Februari) 2016 hanya Rp 122,4 triliun. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan penerimaan pajak pada periode yang sama 2014 dan 2015.

Padahal, target penerimaan tahun 2016 sebesar Rp 1.546,7 triliun, jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro memperkirakan penerimaan negara tahun ini akan meleset sekitar Rp 290 triliun di bawah target. Alasannya, penerimaan pajak dan PNBP tidak seperti yang diharapkan.
(Baca : Target Meleset Rp 290 Triliun)

Dengan kondisi demikian, target infrastruktur tahun 2016 kembali terancam. Sebab, dana yang tersedia amat minim.

Belakangan, Pemerintah berencana mengambil tiga kebijakan sekaligus untuk menutup pendapatan negara yang diproyeksikan meleset Rp 290 triliun di bawah target.

Kebijakan tersebut ialah pelaksanaan program pengampunan pajak, pemotongan anggaran, dan penambahan utang.

Karena itulah, pemerintah sangat berharap, UU Tax Amnesty dapat disahkan tahun ini sehingga dapat menambah potensi penerimaan pajak sebesar Rp 70 – 100 triliun.

Langkah terakhir untuk menyelamatkan anggaran infrastruktur tentulah dengan menambah utang.

Dalam APBN 2016, total utang untuk menutup defisit dianggarkan sebesar Rp 273,2 triliun. Jika penerimaan meleset, tentu saja utang akan lebih besar dari Rp 273,2 triliun jika pemerintah tetap ingin mempertahankan belanjanya termasuk belanja untuk infrastruktur.

Utang boleh saja ditambah asalkan tidak lebih dari 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hingga akhir 2015, total utang pemerintah mencapai Rp 3.089 triliun.

Nah, dalam situasi fiskal yang memusingkan Jokowi inilah kritikan SBY soal anggaran infrastruktur muncul.

Tidak ada yang salah dengan kritikan SBY karena faktanya, kondisi fiskal pemerintah memang sedang tertekan.

Yang menjadi pangkal persoalan adalah mengapa yang disoroti SBY adalah infrastruktur, sesuatu yang menjadi pertaruhan Jokowi.

Mengapa SBY tidak menekankan pemangkasan belanja di sektor lain semisal belanja barang pemerintah.

Apakah SBY masih terpukul dengan gebrakan infrastruktur di awal pemerintahan Jokowi? 

Namun, Jokowi juga jangan terlalu “sumbu pendek” dalam persoalan ini. Tentu tidak ada gunanya untuk perang pencitraan dengan SBY.

Lebih penting untuk Jokowi bagaimana mengamankan agar pembangunan infrastruktur tahun 2016 dapat berhasil sesuai target.

Memberi penjelasan mengenai langkah-langkah kebijakan yang akan diambil untuk menyelamatkan kondisi fiskal lebih penting ketimbang menjelaskan proyek Hambalang yang penuh alang-alang.

Sekali lagi, dua putra terbaik bangsa, Jokowi dan SBY sebaiknya saling bersinergi, bukannya saling mempermalukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com