Di banyak kampus, selera almamater itu begitu kuat. Ada persepsi tentang “darah biru” dengan “darah berwarna.” Tak sedikit yang 95 persen akademisinya lulusan sendiri.
Sementara di kampus “World Class” kita membaca mekanisme DNA yang berbeda. Bahkan tidak menerima lulusan sendiri. Saya sendiri tak bisa mengajar di University of Illinois.
Teman-teman saya yang lulus dari program doktoral dari MIT tidak diterima mengajar di MIT, demikian pula di Harvard maupun Chicago. Dipecut untuk bertarung di luar, menjadi akademisi berpengaruh.
Saat acara wisuda kita bisa menyaksikan dari mana saja almamater asal para guru besar dari toga kebesaran yang dipakai. Sungguh beragam. Itulah perkawinan silang ilmu pengetahuan yang akhirnya diwujudkan dalam kreasi ilmu. Pengajar yang hebat akan mendatangkan banyak dana riset dan pengabdian.
Mereka hadir bukan karena hubungan kekerabatan atau kesamaan almamater, melainkan karena karya-karya ilmiah dan pengakuan/penghargaan internasional yang mereka dapatkan. Mereka direkrut sedari muda, diberi beasiswa, dikembangkan, dan diberi rekomendasi yang kuat.
Saya kira kini sudah saatnya Indonesia mendeklarasikan 1-2 kampus sebagai "World Class University" dengan treatment DNA kelas dunia, bukan DNA tambal sulam apalagi DNA kampungan. Maaf maksud saya, buat apa sih membangga-banggakan kampung almamater, kalau bukan untuk membentengi diri?
Ini pula saatnya kita memikirkan lahirnya perusahaan-perusahaan kelas dunia dan klub-klub sepak bola dunia. Pikirkan DNA-nya, bukan jargon atau positioning-nya semata.
Jadi, jangan lupa, bantu saya menjadikan Alif pemain kelas dunia via kitabisa.com/tristanalif. Tengok juga videonya pasti Anda akan sepakat dengan kami. Kelak, manusia seperti Alif akan membayar kebaikan Anda dengan memutasi DNA persepakbolaan kita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.