Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Babak Baru Pengelolaan Moneter

Kompas.com - 23/08/2016, 14:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorM Fajar Marta

Inflasi inti, yang mencerminkan ekspektasi orang terhadap kenaikan harga barang, juga berada di level ideal saat ini, yakni 3,5 persen.

Pada masa sebelumnya, inflasi inti Indonesia berada di angka 4-5 persen.

Kondisi ini tidak terlepas dari peran bank sentral dan pemerintah yang bahu-membahu dan disiplin berupaya meredam inflasi.

Di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo, Bank Indonesia benar-benar menjaga ketat inflasi agar selalu berada di koridor target.

Fenomena moneter kedua adalah suku bunga bank.

Suku bunga bank di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Di saat suku bunga deposito bank di Malaysia hanya 3 persen per tahun dan Singapura sebesar 2 persen per tahun, suku bunga deposito di Indonesia mencapai 7 persen.

Akibatnya, selama puluhan tahun, suku bunga kredit perbankan Indonesia selalu berada di angka belasan persen, sementara bank-bank di negara lain sudah di level satu digit atau single digit.

Kondisi ini membuat perusahaan-perusahaan Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar global. Barang-barang ekspor Indonesia kurang kompetitif, apalagi dalam hal produk-produk industri yang bernilai tambah.

Tak heran, akhirnya Indonesia hanya bisa mengekspor komoditas-komoditas mentah atau setengah mentah yang memang tidak dimiliki negara lain.

Namun, era kelam itu sepertinya akan berakhir.

Tahun ini, untuk kali pertama, suku bunga kredit perbankan bisa menginjak level satu digit.

BRI, misalnya, sudah mematok suku bunga ritel di level 9,75 persen per tahun. Sementara itu, BNI menetapkan suku bunga ritelnya di posisi 9,95 persen.

BPD Jateng bahkan berani memasang suku bunga ritel hanya 8,18 persen.

Seiring terjaganya inflasi rendah dan stabil serta kondisi makro-ekonomi yang membaik, suku bunga bank diperkirakan akan terus menurun.

Terlebih lagi, dalam waktu enam bulan ke depan, pasar keuangan Indonesia akan kebanjiran likuiditas seiring masuknya dana repatriasi program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Dana repatriasi ini diperkirakan bisa mencapai Rp 1.000 triliun.

BI 7-day Repo Rate

Kombinasi dari inflasi rendah yang stabil, suku bunga kredit single digit, dan likuiditas yang berlimpah telah membawa perekonomian Indonesia ke titik baru.

Agar momentum perbaikan ekonomi dan ekspektasi pasar terus terjaga, BI pun memperkuat kerangka operasi moneter dengan menggunakan suku bunga kebijakan baru yakni BI 7-days Repo Rate mulai 19 Agustus 2016.

BI 7-day Repo Rate merupakan salah satu instrumen moneter yang aktif digunakan BI selama ini dalam operasi pasar terbuka (OPT).

Instrumen ini bersifat transaksional antara BI dan perbankan dengan skema repo atau repurchase agreement menggunakan surat berharga negara (SBN) atau surat utang negara (SUN).

Dalam transaksi ini, bank menjual SUN-nya kepada BI dengan perjanjian akan dibeli lagi pada 7 hari mendatang. Pada saat pengembalian, bank membayar bunga yang ditetapkan BI.

Atau bisa juga sebaliknya, bank membeli SUN dari BI dengan perjanjian akan dijual lagi 7 hari mendatang. Dalam transaksi reverse ini, bank mendapat bunga.

Dengan menggunakan BI 7-day Repo Rate, berarti tenor suku bunga kebijakan menjadi lebih pendek, yakni hanya 7 hari. Adapun BI Rate merupakan suku bunga bertenor satu tahun.

Saat ini, suku bunga BI 7-day Repo Rate adalah 5,25 persen, sementara BI Rate sebesar 6,5 persen.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com