Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/08/2016, 19:45 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

Namun, kenyataan berubah saat pabrik tersebut benar-benar telah terbangun.

"Pabrik ini rampung pas banget (Medan mengalami) krisis (pasokan) gas. Lalu pada 2014, gas tidak ada. Kok bisa gas yang sudah dijamin jadi tidak ada?” sambung Habib.

Masalah pasokan mulai teratasi pada tahun ini. Sayangnya, ada persoalan baru. Itu dia, harga jual gas alam melambung tinggi.

Apa mau dikata, pabrik kedua sudah terlanjur ada, produksi pun tetap harus berlanjut.

“Akhirnya kami modifikasi bahan bakar. Selain pakai gas alam, kami juga pakai gasifikasi karbon dari batu bara untuk menekan biaya produksi,” ujar Habib.

Dengan nada yang cukup keras, Habib mengisahkan semua detail perjalanan usaha pabrik dan lika-liku pasokan bahan bakar ini.

Gasifikasi gas dari batu bara memang menjadi solusi untuk memastikan produksi berlanjut. Harga juga bukan kendala.

Namun, kata Habib, tetap saja butuh investasi tambahan untuk memastikan pasokan serta membangun penampungan dan stasiun gasifikasi batu bara.

“Sudah begitu mesti ada proses gastifikasi karbon dulu. Perlu waktu dan biaya. Bagaimana lagi, produksi harus berjalan,” ujar dia.

Pilihan ini tak hanya untuk memastikan harga produk keluaran mereka tetap kompetitif tetapi juga—lagi-lagi—biar tak ada PHK. "Saat ini karyawan berjumlah 2.000. Jangan sampai ada PHK,” sebut dia.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES Mesin produksi sepanjang 100 meter di PT Jui Shin Indonesia yang menggunakan gas alam di Medan, Sumatera Utara. Gambar diambil pada Kamis (25/8/2016)

Di sela semua cerita ini, Habib pun mengungkapkan, pabrik-pabrik ini merupakan penanaman modal asing (PMA). Semula, pabrik kedua akan didirikan di Pulau Jawa. Jaminan pasokan gas lah yang menjadi alasan pembangunan pabrik kedua di Medan.

Naik tanpa ditanya, turun banyak prosedur

Energi menjadi isu yang tak habis-habis dari sektor energi di Medan, tak terkecuali gas alam. Padahal, sejarah mencatat, gas alam sudah hadir di kota ini sejak 1937, masih masa penjajahan Belanda.

Pada era 1970-an, PGN pernah pula menghasilkan sendiri gas alam dari proses cracking minyak dan batu bara. Jejak lokasi pengolahan tersebut kini sudah berubah wajah menjadi salah satu kantor operasional PGN.

Selain satu gedung berarsitektur lawas, benda yang masih punya kaitan langsung dengan proses tersebut adalah sebuah mesin pompa hasil gasifikasi. Jejak lain hanyalah air tanah yang masih "berasa" minyak.

Bentuknya seperti meriam kuno, lengkap dengan sebuah roda, pompa tersebut dipajang di depan kantor operasional itu.

Belakangan, pasokan gas di sini tak lagi disediakan langsung oleh PGN. Perusahaan ini hanya membangun jaringan untuk penyaluran.

Jaringan dan pemakaian gas di Kota Medan pun sempat meluas dan meningkat pesat. Puncaknya, pada 2006, pasokan gas yang dialirkan di kota ini dan sekitarnya mencapai 27 MMBTU.

Namun, masa jaya itu sudah lewat. Sumber gas yang ada di sekitar Kota Medan, tak lagi menghasilkan.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Salah satu jejak sejarah panjang penyaluran dan pemanfaatan gas alam di Kota Medan, Sumatera Utara, diabadikan di halaman kantor PGN Sub Distribusi Wilayah III Area Medan. Gambar mesin pompa ini diambil pada Jumat (26/8/2016).

Krisis gas alam melanda, puncaknya pada 2014. Rencana PGN membangun penampungan gas cair (LNG) di kawasan Pelabuhan Belawan tak terealisasi karena harus dipindahkan ke Lampung.

Alhasil, pasokan gas alam untuk wilayah ini pun harus didatangkan dari penampungan di Arun, Nanggroe Aceh Darussalam. Jaraknya lebih dari 300 kilometer dari Medan.

Pada 2015, harga gas masih dipatok senilai 8,7 dollar AS MMBTU. Kontrak dengan industri, harga tersebut akan berlaku sampai 2016.

“Belum sampai 2016, harga malah naik sampai 14 dollar AS pada 1 Agustus 2015. Meskipun habis itu turun lagi jadi 12,2 dollar AS pada Desember 2015, tapi tetap jauh lebih mahal dibandingkan kota lain kan?" ungkap Habib. 

Rencana penurunan pada Februari 2016 pun gagal terwujud. Ketika kabar soal krisis gas dan harga ini mencuat, muncullah Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Harga Gas yang terbit pada medio Mei 2016.

Apakah masalah selesai?

“Waktu menaikkan harga, tidak ada tuh persetujuan atau jadi bahan diskusi dulu buat kami. (Untuk turun harga), kenapa mesti ada prosedur macam-macam?" kecam Habib tentang peraturan itu.

Di antara prosedur "macam-macam" tersebut, ungkap Habib, adalah pengelompokan industri yang bisa mendapatkan penyesuaian harga. "Kenapa tidak langsung saja semua industri dapat penyesuaian harga?" tanya dia.

Sudah begitu, harus ada pula rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, yang itu wajib menyertakan laporan keuangan teraudit.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com