Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/08/2016, 19:45 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

"Padahal tidak semua industri berstatus perusahaan terbuka. Laporan keuangan kan tidak bisa sembarangan keluar," ujar Habib.

Setelah itu, rekomendasi tersebut diserahkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk dapat dilaksanakan penyesuaian harga oleh PGN.

"Pengajuan rekomendasi sudah diajukan kapan, sampai sekarang belum ada juga," imbuh Habib.

Habib pun menegaskan, industri seperti miliknya tak muluk-muluk meminta harga murah. Bisa kembali ke harga di bawah 10 dollar AS per dollar AS saja sudah akan disyukuri.

"Harga yang penting kompetitif," tegas Habib.

Bagi Habib, kebutuhan pemakaian gas bukan semata soal harga. Bila produksi keramik memakai bahan bakar dari gas alam yang bukan hasil gasifikasi batu bara, kualitas produknya bisa lebih terjaga.

"Hasil gasifikasi batu bara bisa jadi kadang-kadang ada serpihan batu bara yang terbawa sampai ke mesin. Ketika (serpihan itu) menempel di produk, keramik ini sudah tak lagi kualitas nomor satu, meski cuma ada satu titik hitam," papar dia.

Pasang-surut

Saat ini di Medan ada sekitar 45 industri yang mengandalkan gas alam sebagai energi dalam proses produksi. Di luar itu, masih ada sekitar 19.000 pengguna rumah tangga dan 500-an pengguna komersil seperti rumah makan dan industri kecil.

Sales Area Head Medan PGN Saeful Hadi tak menampik soal gelombang pasang-surut penyaluran gas di wilayahnya.

“Setelah krisis gas, kami berpikir bagaimana agar industri tetap jalan, yang penting gasnya ada dulu," ungkap Saeful, Rabu (24/8/2016). 

Solusi itu adalah penyaluran pasokan hasil regasifikasi LNG di penampungan Arun yang bukan milik PGN. Di sini, PGN benar-benar hanya menyalurkan gas alam yang dibeli dari pihak lain ke pengguna. Asal LNG itu sendiri datang dari BP Tangguh di Papua.

Saeful berharap, Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 menjadi fajar baru bagi industri dan pengguna gas alam di wilayahnya. Walaupun, per akhir Agustus 2016, baru tujuh kelompok industri yang punya peluang mendapatkan penyesuaian harga gas alam.

Tujuh kelompok industri itu adalah pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Dengan peraturan tersebut, ketujuh kelompok industri berpeluang mendapatkan banderol gas 9,9 dollar AS per MMBTU.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Puluhan kotak ukuran mini dan sedang metering and regulating station (MRS) dari beragam industri yang pernah memakai gas alam sebagai energi untuk produksi, membaur di antara rongsokan dan barang-barang bekas di halaman Kantor PGN Sud Distribusi Wilayah III Area Medan. Gambar diambil pada Jumat (26/8/2016)

Saeful pun mengaku turut merasakan apa yang dialami industri. Kinerja PGN di wilayah ini pun turut terpuruk seiring pasang-surut kisah gas di Medan.

Onggokan boks-boks mini metering and regulating station (MRS) di kantor operasional PGN jadi salah satu saksinya.

Di badan boks-boks yang tak semuanya tampak usang itu, sebagian masih tertempel lokasi penempatan sebelumnya, beragam dari usaha pembuat bolu meranti sampai pabrik tekstil.

Menurut Saeful, ketika pasokan gas akhirnya cukup lancar lagi, banyak industri yang telah terlanjur mengganti alat penyaluran bahan bakar.

Terlebih lagi, tak semua alat produksi bisa dilakukan modifikasi untuk pemakaian berbarengan atau bergantian beberapa jenis bahan bakar.

Karenanya, untuk kembali memakai gas alam, perusahaan-perusahaan tersebut akan perlu investasi peralatan lagi. 

Saat ini, penggunaan gas alam di Medan tercatat di kisaran 14 MMBTU per bulan, separuh dari puncak pemakaian gas alam yang pernah tercatat.

“Kami (PGN) berada dekat dengan industri. Kami ada juga untuk ikut membantu meningkatkan perekonomian di Indonesia. Mengapa sekarang seperti ini (gas alam mahal), ya memang keadaannya yang seperti itu,” ujar Saeful saat ditemui lagi Kompas.com pada Jumat (26/8/2016).

Menurut Saeful, harga yang sekarang dikenakan di wilayahnya pun sudah menerapkan subsidi silang dengan pendapatan dari wilayah lain, terutama Pulau Jawa. 

Namun, optimisme belum sepenuhnya surut dari Medan. Kawasan industri yang sudah tertata, adalah potensi yang nyata-nyata ada. Kepercayaan warga dan industri terhadap pemanfaatan gas alam juga sudah terbukti puluhan tahun, sampai krisis melanda.

Sugianto yang sudah menjelang masa pensiun pun masih menyimpan harapan pada gas alam untuk industri di kotanya. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 adalah salah satu penjaga harapannya itu.

“Saat ini realisasi Perpres itu di lapangan memang belum ada. Namun kami yakin kalau sudah terealisasi, hal itu bisa mendukung keadaan industri di Sumut,” kata Sugianto. 

Apakah Medan akan selamanya hanya bertahan? Kita tunggu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com