KOMPAS.com – Cost recovery merupakan bagian tak terpisahkan dari kontrak kerja sama investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia, meskipun istilah ini tak eksplisit disebut dalam peraturan perundangan. Lalu, kenapa frasa tersebut kembali ramai diperbincangkan?
"Memahami cost recovery itu cukup pakai pemahaman atas prinsip dasar ekonomi,” ujar ekonom Faisal Basri dalam perbincangan dengan Kompas.com, medio November 2016.
Kalau usaha mau untung, lanjut Faisal, tentu saja sebelumnya kudu keluar modal. Jangan juga sekadar mengejar pendapatan dan bagian keuntungan lebih besar, lalu modal kerja dipangkas drastis.
(Baca juga: Pemerintah Revisi Aturan tentang "Cost Recovery")
Menurut Faisal, investor—terutama di sektor hulu migas—juga tak dapat dibilang senang ketika mendapatkan cost recovery tinggi. Terlebih lagi, penggantian biaya eksplorasi dan produksi migas tersebut akan menjadi pengurang dari pendapatan yang kemudian dibagi hasil dengan pemerintah.
Bicara cost recovery sektor hulu migas, tentu saja tak bisa terlepas dari skema kerja sama yang dipakai. Merujuk buku Ekonomi Migas-Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas karya Benny Lubiantara, model kerja sama tersebut tak tunggal.
Sama-sama seperti Indonesia menggunakan kontrak bagi hasil (production sharing contract atau PSC), misalnya, mekanisme pembagian keuntungan pun bisa berbeda di negara lain. Tentu saja, skema seperti konsesi juga akan berbeda lagi penerapannya soal hitungan angka-angka ekonominya.
"Mau apa pun skema yang dipakai, prinsip cost recovery selalu ada, hanya penamaan dan aplikasi yang sesuai kontrak dan sistem di negara masing-masing," kata Faisal.
Apa itu cost recovery?
Sebelum berkenalan dengan frasa tersebut, masyarakat harus memahami terlebih dahulu prinsip kontrak kerja sama yang sekarang diterapkan untuk industri hulu migas Indonesia. Sebagai informasi, sebelum menggunakan skema PSC, Indonesia juga pernah memakai sistem konsesi dan kontrak karya.
Seperti ditulis di situs web-nya, Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menganalogikan skema PSC dengan sistem sawah kontrak dalam sistem pertanian, yang sudah dikenal lama di negeri ini.
Prinsip dasar itu sudah memperlihatkan perbedaan mendasar dengan—misalnya—model konsesi di industri hulu migas di Amerika Serikat. Dalam sistem ekonomi liberal negara itu, segala sesuatu yang ada di dalam bumi di lahan atau properti seseorang atau institusi merupakan milik orang atau lembaga itu.
Negara, dalam sistem ekonomi liberal tersebut, karenanya hanya menarik pajak dan menerima royalti dari hasil usaha terhadap aset perorangan atau institusi itu.
Nah, dalam kedua skema itu pada dasarnya cost recovery tetap ada. Pembedanya hanya pada pencatatan akuntansinya, termasuk siapa yang menanggung biaya investasi tersebut.
Memakai analogi sawah kontrak, seluruh biaya yang dibutuhkan untuk mengolah dan mendapatkan hasil panen merupakan tanggungan pemilik. Kalau pun penggarap mengeluarkan dulu uang untuk kebutuhan itu, pada akhirnya tetap akan diganti oleh si pemilik sawah.
Penggantian pada pola sawah kontrak akan dilakukan berupa pengurangan biaya ke hasil penjualan hasil panen, sebelum kemudian "sisa" pendapatan dibagi sesuai kesepakatan antara pemilik dan penggarap.
Hal serupa terjadi pada penerapan cost recovery di industri hulu migas Indonesia. Semua biaya yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) akan dikurangkan terhadap pendapatan hasil produksi, sebelum ada proses bagi hasil dengan Pemerintah. Meski begitu, cost recovery juga tak asal-asalan diberikan.
"Hanya diberikan untuk eksplorasi yang menemukan cadangan terbukti bernilai ekonomis dan yang sudah berproduksi," kata Kepala Humas SKK Migas Taslim Z Yunus.
Pembagian itu tak selalu bulat, tergantung pada komponen perhitungan akuntansi migas. Pembagian dilakukan setelah pendapatan dikurangi cost recovery dan sejumlah komponen biaya.
Riilnya, Pemerintah mendapatkan kisaran 60 persen dari total pendapatan usaha hulu migas.
Risiko dan krisis
Bicara eksplorasi, satu catatan tebal harus disebutkan, bahwa tak semua upaya pencarian sumber cadangan baru terbukti tersebut memberikan hasil seperti harapan. Risiko kegagalan menjadi tanggungan investor atau perusahaan migas.
Berdasarkan data SKK Migas, selama kurun 2002 sampai semester I/2016, cost recovery senilai 3,9 miliar dollar AS tak bisa dibayarkan kepada perusahaan migas. Buat pembanding, itu hampir menyamai keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2016 DKI Jakarta.
Betul, ketika eksplorasi tak mendapatkan hasil sesuai rencana, semua pengeluaran selama proses pencarian akan hangus. Meski demikian, eksplorasi yang butuh investasi masih jadi kebutuhan bagi Indonesia, bila tak mau terjadi krisis energi dalam waktu dekat.
"Bagaimana pun, migas masih menjadi sumber energi utama Indonesia pada saat ini dan masa mendatang," ujar Taslim.
Faktanya, Indonesia kaya migas bisa jadi masuk kategori semata mitos. Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi net importer minyak. Tapi, tak sampai seperempat abad ke depan malah rawan menjadi net importer gas, bila cadangan terbukti tak bertambah dan tingkat konsumsi tetap seperti sekarang.
(Simak pula: VIP Membongkar Mitos Indonesia Kaya Migas)
Belum lagi, Indonesia pun masih lebih banyak mengandalkan sumur migas tua daripada mendapati sumber cadangan terbukti baru. Grafik berikut ini menjadi gambarannya.
Setidaknya, jumlah cadangan terbukti migas di suatu wilayah kerja tak akan bertambah lagi. Kalaupun angka produksi dinaikkan, jangka waktu "pengurasan" otomatis berbanding terbalik menjadi lebih pendek.
"Jangan pernah lupa pula, migas adalah industri ekstraktif dan tak terbarukan," ujar Taslim.
Temuan terbaru, tren sumber cadangan terbukti baru migas Indonesia kemungkinan dapat ditemukan di kawasan timur Indonesia dan laut dalam. Konsekuensi dari tren tersebut adalah kebutuhan teknologi lebih tinggi dan biaya lebih mahal, dengan tingkat risiko membesar pula.
Risiko yang membayangi eksplorasi dan kebutuhan migas untuk dipenuhi ini bak simalakama bagi Indonesia. Tentu, simalakama akan makin menjadi-jadi ketika penggantian biaya eksplorasi dan produksi—definisi sederhana dari cost recovery—tak lagi ada.
Ibaratnya, punya sawah tetapi tak tergarap karena tak punya modal untuk mengolah dan memanen, tak perlu susah-susah bermimpi mendapatkan hasil, bukan?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.