Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/11/2016, 12:12 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.comCost recovery merupakan bagian tak terpisahkan dari kontrak kerja sama investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia, meskipun istilah ini tak eksplisit disebut dalam peraturan perundangan. Lalu, kenapa frasa tersebut kembali ramai diperbincangkan?

"Memahami cost recovery itu cukup pakai pemahaman atas prinsip dasar ekonomi,” ujar ekonom Faisal Basri dalam perbincangan dengan Kompas.com, medio November 2016.

Kalau usaha mau untung, lanjut Faisal, tentu saja sebelumnya kudu keluar modal. Jangan juga sekadar mengejar pendapatan dan bagian keuntungan lebih besar, lalu modal kerja dipangkas drastis.

(Baca juga: Pemerintah Revisi Aturan tentang "Cost Recovery")

Menurut Faisal, investor—terutama di sektor hulu migas—juga tak dapat dibilang senang ketika mendapatkan cost recovery tinggi. Terlebih lagi, penggantian biaya eksplorasi dan produksi migas tersebut akan menjadi pengurang dari pendapatan yang kemudian dibagi hasil dengan pemerintah.

Bicara cost recovery sektor hulu migas, tentu saja tak bisa terlepas dari skema kerja sama yang dipakai. Merujuk buku Ekonomi Migas-Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas karya Benny Lubiantara, model kerja sama tersebut tak tunggal.

Sama-sama seperti Indonesia menggunakan kontrak bagi hasil (production sharing contract atau PSC), misalnya, mekanisme pembagian keuntungan pun bisa berbeda di negara lain. Tentu saja, skema seperti konsesi juga akan berbeda lagi penerapannya soal hitungan angka-angka ekonominya.

"Mau apa pun skema yang dipakai, prinsip cost recovery selalu ada, hanya penamaan dan aplikasi yang sesuai kontrak dan sistem di negara masing-masing," kata Faisal.

Apa itu cost recovery?

Sebelum berkenalan dengan frasa tersebut, masyarakat harus memahami terlebih dahulu prinsip kontrak kerja sama yang sekarang diterapkan untuk industri hulu migas Indonesia. Sebagai informasi, sebelum menggunakan skema PSC, Indonesia juga pernah memakai sistem konsesi dan kontrak karya.

Seperti ditulis di situs web-nya, Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menganalogikan skema PSC dengan sistem sawah kontrak dalam sistem pertanian, yang sudah dikenal lama di negeri ini.

Dok SKK Migas Data, tren, dan tantangan migas Indonesia

Di sektor hulu migas, Pemerintah adalah si pemilik sawah, sementara investor atau perusahaan migas merupakan penggarap. Ini pun sejalan dengan marwah yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, yang menjadi dasar bagi pengelolaan kekayaan sumber daya alam, bahwa seluruh potensi itu tetap dikuasai negara.

Prinsip dasar itu sudah memperlihatkan perbedaan mendasar dengan—misalnya—model konsesi di industri hulu migas di Amerika Serikat. Dalam sistem ekonomi liberal negara itu, segala sesuatu yang ada di dalam bumi di lahan atau properti seseorang atau institusi merupakan milik orang atau lembaga itu.

Negara, dalam sistem ekonomi liberal tersebut, karenanya hanya menarik pajak dan menerima royalti dari hasil usaha terhadap aset perorangan atau institusi itu.

Nah, dalam kedua skema itu pada dasarnya cost recovery tetap ada. Pembedanya hanya pada pencatatan akuntansinya, termasuk siapa yang menanggung biaya investasi tersebut.

Memakai analogi sawah kontrak, seluruh biaya yang dibutuhkan untuk mengolah dan mendapatkan hasil panen merupakan tanggungan pemilik. Kalau pun penggarap mengeluarkan dulu uang untuk kebutuhan itu, pada akhirnya tetap akan diganti oleh si pemilik sawah.

Penggantian pada pola sawah kontrak akan dilakukan berupa pengurangan biaya ke hasil penjualan hasil panen, sebelum kemudian "sisa" pendapatan dibagi sesuai kesepakatan antara pemilik dan penggarap.

Hal serupa terjadi pada penerapan cost recovery di industri hulu migas Indonesia. Semua biaya yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) akan dikurangkan terhadap pendapatan hasil produksi, sebelum ada proses bagi hasil dengan Pemerintah. Meski begitu, cost recovery juga tak asal-asalan diberikan.

"Hanya diberikan untuk eksplorasi yang menemukan cadangan terbukti bernilai ekonomis dan yang sudah berproduksi," kata Kepala Humas SKK Migas Taslim Z Yunus.

Dok Indonesian Petroleum Association Hingga wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) dapat berproduksi, proses yang harus dilakukan teramat panjang, butuh waktu lama, serta biaya dan teknologi yang makin tinggi, berikut risiko yang menyertai

Proporsi pembagian hasil usaha migas antara Pemerintah dan KKKS saat ini dipatok di kisaran 85 persen berbanding 15 persen untuk minyak dan kisaran 70 persen berbanding 30 persen untuk gas.

Pembagian itu tak selalu bulat, tergantung pada komponen perhitungan akuntansi migas. Pembagian dilakukan setelah pendapatan dikurangi cost recovery dan sejumlah komponen biaya.

Riilnya, Pemerintah mendapatkan kisaran 60 persen dari total pendapatan usaha hulu migas.

Risiko dan krisis

Bicara eksplorasi, satu catatan tebal harus disebutkan, bahwa tak semua upaya pencarian sumber cadangan baru terbukti tersebut memberikan hasil seperti harapan. Risiko kegagalan menjadi tanggungan investor atau perusahaan migas.

Berdasarkan data SKK Migas, selama kurun 2002 sampai semester I/2016, cost recovery senilai 3,9 miliar dollar AS tak bisa dibayarkan kepada perusahaan migas. Buat pembanding, itu hampir menyamai keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2016 DKI Jakarta.

Betul, ketika eksplorasi tak mendapatkan hasil sesuai rencana, semua pengeluaran selama proses pencarian akan hangus. Meski demikian, eksplorasi yang butuh investasi masih jadi kebutuhan bagi Indonesia, bila tak mau terjadi krisis energi dalam waktu dekat.

"Bagaimana pun, migas masih menjadi sumber energi utama Indonesia pada saat ini dan masa mendatang," ujar Taslim.

Faktanya, Indonesia kaya migas bisa jadi masuk kategori semata mitos. Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi net importer minyak. Tapi, tak sampai seperempat abad ke depan malah rawan menjadi net importer gas, bila cadangan terbukti tak bertambah dan tingkat konsumsi tetap seperti sekarang.

(Simak pula: VIP Membongkar Mitos Indonesia Kaya Migas)

Belum lagi, Indonesia pun masih lebih banyak mengandalkan sumur migas tua daripada mendapati sumber cadangan terbukti baru. Grafik berikut ini menjadi gambarannya.

Dok SKK Migas Grafis tren data ladang migas Indonesia per akhir 2015

Konsekuensi dari masih diandalkannya sumur-sumur tua untuk pemenuhan kebutuhan migas berimplikasi pada angka produksi yang cenderung terus menurun. Sebaliknya, biaya operasional produksi cenderung tetap, bahkan naik, termasuk untuk pembaruan dan perawatan peralatan.

Setidaknya, jumlah cadangan terbukti migas di suatu wilayah kerja tak akan bertambah lagi. Kalaupun angka produksi dinaikkan, jangka waktu "pengurasan" otomatis berbanding terbalik menjadi lebih pendek.

"Jangan pernah lupa pula, migas adalah industri ekstraktif dan tak terbarukan," ujar Taslim.

Temuan terbaru, tren sumber cadangan terbukti baru migas Indonesia kemungkinan dapat ditemukan di kawasan timur Indonesia dan laut dalam. Konsekuensi dari tren tersebut adalah kebutuhan teknologi lebih tinggi dan biaya lebih mahal, dengan tingkat risiko membesar pula.

Risiko yang membayangi eksplorasi dan kebutuhan migas untuk dipenuhi ini bak simalakama bagi Indonesia. Tentu, simalakama akan makin menjadi-jadi ketika penggantian biaya eksplorasi dan produksi—definisi sederhana dari cost recovery—tak lagi ada.

Ibaratnya, punya sawah tetapi tak tergarap karena tak punya modal untuk mengolah dan memanen, tak perlu susah-susah bermimpi mendapatkan hasil, bukan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com