Membangun kemandirian garam industri
Permasalahan garam di Indonesia terdapat pada kuantitas produksi yang lebih rendah dari kebutuhan, kualitas yang kurang baik, dan harga yang tidak kompetitif. Kebutuhan garam nasional masih bergantung pada negara-negara eksportir, seperti Australia, Selandia Baru, Tingkok, dan India.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, sepanjang 2017 impor garam konsumsi mencapai 226.000 ton. Impor tahap awal sebesar 75.000 ton. Jumlah tersebut setara 30 persen dari kebutuhan garam semester pertama 2017 yang sebesar 226.124 ton (Kompas.com).
Hal senada juga terjadi terhadap produksi garam industri. Hingga saat ini, sebagian besar kebutuhan garam industri masih bergantung dari impor luar negeri.
Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyebut, kebutuhan garam industri sepanjang 2017 mencapai 2,3 juta ton. Namun, sebagian besar kebutuhan itu masih harus dipenuhi dengan impor.
Mengapa berdaulat garam begitu penting? Garam adalah salah satu komoditi strategis rakyat. Hampir setiap hari kita bersinggungan dengannya.
Garam ada dalam cemilan yang kita nikmati, sayur dan lauk pauk yang kita makan, hingga minuman isotonik yang kita tenggak.
Selain itu, garam juga menjadi bahan baku sejumlah industri penting di Indonesia, seperti tekstil, farmasi, kimia, kertas, perminyakan, penyamakan kulit, pemeliharaan air, dan pembuatan kaca.
Faktor kegagalan berswasembada garam tidak bersifat biner. Di sana ada persoalan sumber daya manusia, alam, teknologi, data yang berbeda di setiap instansi, hingga peraturan yang dibuat pemerintah. Kompleks!
Upaya berswasembada
Pembenahan sumber daya manusia bisa dilakukan dengan pembinaan. Di sini pemerintah perlu membantu petani mulai dari perencanaan produksi, cara budidaya, sistem tata niaga (menyimpan dan menjual), hingga paradigma bertani.
Sebagai contoh, saat ini sentra-sentra penghasil garam yang diproduksi para petani hanya memenuhi standar kualifikasi konsumsi, belum industri. Padahal nilai jual garam industri lebih tinggi.
Hal ini salah satunya bisa disebabkan oleh kebiasaan pola panen para petani. Panen garam industri memang butuh waktu lebih panjang. Paling cepat satu bulan. Bahkan untuk hasil lebih bagus bisa mencapai dua bulan. Adapun para petani tradisional kita sudah terbiasa menghasilkan panen garam konsumsi dalam waktu 10 sampai 15 hari.
Berikutnya adalah teknologi. Penting bagi pemerintah memperhatikan aspek ini untuk mengatasi kendala para petani garam di lapangan.
Teknologi bukan hanya menentukan kualitas dan kuantitas produksi garam yang diharapkan, tetapi juga bisa membantu petani meminimalisasi kendala alam.
Hanya yang perlu diingat, teknologi yang ditawarkan mesti terjangkau dari sisi harga sehingga bisa diakses para petani. Di sinilah pentingnya insentif modal dari pemerintah untuk petani.
Selain itu, hal yang perlu dilakukan adalah penataan tambak. Dalam hal ini intensifikasi, ekstensifikasi, dan revitalisasi tambak garam perlu dilakukan.
Pemerintah juga harus menunjukkan keberpihakan kepada para petani dengan menyajikan berbagai regulasi yang menguntungkan mereka. Misalnya, dengan tidak melakukan impor garam di masa panen.
Pada akhirnya, usaha melakukan swasembada garam bukan hanya soal keharusan memenuhi kebutuhan nasional. Usaha swasembada adalah upaya membangun kedaulatan bangsa. Tak terbayangkan bangsa sebesar ini menggantungkan kebutuhan strategisnya kepada bangsa lain.
Jika kegagalan mewujudkan swasembada beras kerap diistilahkan dengan: anak ayam mati di lumbung padi. Maka, saya mengimbaratkan kegagalan membangun swmasembada garam ibarat anak ikan mati di kolam sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.